SR.9

375 65 2
                                    









































































































Pukul 12.00 tepat, ditengah hari, berdiri menahan tubuh, cuekin terik dan sinar ultraviolet mengerikan, sambil intuisi memberi tau betapa Wendy terlihat bodoh dan jatuh landas mengerikannya harga diri sendiri.

Misi sinting Lisa berhadiah mobil memang nggak begitu buruk, tapi eksekusinya jelas nggak masuk akal. Wendy tentu menaruh ekspektasi semudah lisan Lisa yang berkumandang tempo hari, menantang kawan-kawannya tes karisma, katanya.

"Lagian lo pada yaa, itu cakep. Tomboi khas kalian tuh idaman semua gender. Mudah kan step-nya, deketin, belokin, tinggalin."

Boro-boro tinggalin, mendapatkan saja sesusah ini, segoblok ini.

Moonbyul kalo liat Wendy, selain dimisuhin, kayaknya di-ngakakin. Ini bisa juga sekalian ditampol, karna sahabat bulenya rela kepanasan, bersama martabak manis hampir dingin, sembari menunggu Joy buka pintu rumahnya, karna pesanannya telah sampai dengan selamat. Wendy baik, tapi nggak sebaik nan polos kayak gini.

Lisa si pembuat misi sinting pasti ikut geleng-geleng nggak percaya. Wendy mau aja jadi suruh-suruh, status teman aja belum jelas, gimana iya Joy mengerti itu sebuah kodean. Jennie juga kayaknya siap toel keras kepala Wendy karna ternyata cewek yang jadi target sahabat seperjuangan merupakan sang manja jelita nan melankolis.

"Joy masih lama? Apa lo lagi mandi, ya? Atau lagi siap-siap? Soalnya gue udah 15 menitan di depan rumah dan chat belum ada yang dibales. Btw.. martabaknya panas nggak dikresekin, kresek-nya robek, jadi gue pegang pake tangan telanjang, panas."

Voice Note via Whatsapp Wendy terkirim untuk yang kesekian kalinya.

Lihat bukan? Dia menyedihkan.

Seulgi pas dengar ternyata Wendy juga sering antar-jemput Joy pun nggak abis pikir. Bisa-bisanya Wendy se-iya-iya itu tanpa liat sisi harga diri. Apakah itu menguntungkan? Apa ada nilai jual yang sama? Apakah ada timbal-balik yang seimbang? Seulgi takut bumerang bucin malah membalik serang Wendy.

Tapi taunya, sahabatnya, Son Wendy makin loyoh. Prinsip harga diri terinjak.

Tolong sadarkan dia, siapapun.

Lagian, Wendy juga ngapain sebenarnya? Joy punya pacar padahal.

Wendy pandang ponselnya lagi, berharap ada pesan balasan yang sama cepatnya ketika Wendy merespons chat cewek itu. Tapi ekspektasi kembali patah, jenis cewek yang satu ini teramat dingin soal interaksi pesan singkat.

Joy paling cepet respons pesannya mungkin sekitar 30 menit, itupun dibaca dulu, kena anggur, baru kemudian dibalas. Seharusnya tukang parkir ada, biar siap sadarkan Wendy kalau dia harus segera mundur.

"Gue bodoh banget kayaknya. Kayak lagi ngejar orang, tapi yang dikejar naik motor, motor GP lagi.." Wendy pindah atensi, mata bule biru nan bercahaya itu tatap sedih kedua tapak tangannya. Merah, sedikit perih, belum lagi lumer cokelat dan keju yang tembus di celah dus tipis kotak mini, kotor biarpun manis.

Ini bukan Wendy banget. Si rapi, si paling bersih hilang entah ke mana.

Andai Joy tau, ada lebih dari puluhan orang rela melakukan hal sama, demi dapetin status pacaran dengan Son Wendy. Tapi cewek itu, setelah semua ini, terus rasa tertarik pun seperti nihil dari responsnya, memang harusnya menampar Wendy untuk berhenti. Ngapain lagi, emangnya? Teman-teman Joy, si geng berisik nggak se-effort ini perasaan.

Semester RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang