Ada satu kesepakatan di antara Juna dan Julie; konsisten untuk tidak menjadikan hubungan mereka menjadi konsumsi orang banyak. Juna dan Julie percaya bahwa; beberapa hal tidak perlu diumbar, cukup menjadi konsumsi pribadi. Lalu mereka pun sepakat la...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Julie sudah menghubungi Juna berkali-kali. Telepon, SMS, pesan via WhatsApp atau apa pun sosial medianya, tetapi tetap tidak ada jawaban. Perasaan terluka Julie membuat dirinya sejak tadi menangis dalam diam. Merasa demikian keterlaluan sampai-sampai Juna akhirnya menerima untuk putus.
Putus? Ya, benar-benar putus! Julie ingin sekali mengeraskan tangisnya, tetapi bagaimana kalau Ibu malah menyangka dirinya kesurupan? Ah, Julie mengusap air matanya dengan kasar.
Padahal seharusnya ia senang kalau Juna pada akhirnya sepakat untuk putus. Hanya saja, mengapa malah dirinya yang banjir tangisan? Kali ini Juna benar-benar serius atas ucapannya beberapa jam lalu. Julie yakin itu, sebab Juna sungguh tidak bisa dihubungi.
Sebelumnya Juna memang sering menghilang, tetapi tidak sampai begini juga. Semua sosial medianya mendadak tidak aktif. Biasanya Julie tahu kalau Juna pasti sibuk main gim atau tidur, tetapi kali ini ... jauh berbeda.
"Halo, Nas ...." Julie menahan isak tangis saat menghubungi Syanaz. "Nas ... Nas ... Juna beneran setuju buat putus, aku harus gimana? Aku sama Juna putus, Nas."
"Hah, serius? Kok, jadi gini rencana kita, Jul? Kok, Juna mau?"
Julie menggeleng walau Syanaz tidak melihatnya. "Nggak tau. Nas, aku harus gimana?"
"Oke, kamu tenang dulu, Jul. Aku ke rumah kamu sekarang."
Julie segera memutus sambungan telepon dan menutup wajah dengan bantal. Meredam suara tangisnya agar tidak terdengar oleh sang ibu. Dia tidak mau ibunya ikut-ikutan heboh karena hubungannya yang berakhir dengan Juna.
Bisa-bisa ibunya meneror Juna dan Julie tidak mau ada adegan seperti itu. Gadis berkulit putih bening itu menoleh ke arah pintu ketika suara deritnya terdengar. Tidak butuh waktu lama buat Syanaz untuk tiba di rumah Julie.
Syanaz mengangguk paham dan memperhatikan kondisi Julie yang terlihat kacau. Matanya sembab karena menangis, entah sejak kapan. Rambutnya terlihat acak-acakan. Seketika Syanaz meringis ngeri. Bisa-bisanya orang patah hati terlihat semengerikan ini, pikirnya.
"Jadi, gimana, Jul?"
"Nggak tau, Nas. Niat awal kita cuma biar Juna mau menjauhi Alana dan Kak Dinar, tapi kenapa dia malah sepakat dan minta putus beneran? Aku ... padahal aku cuma ngancem dia doang." Suara tangis Julie sedikit pecah membuat Syanaz kembali meringis.
"Sekarang kamu udah coba menghubungi Juna?"
"Udah, Nanas. Tapi, nggak bisa. Ponselnya nggak aktif. Nggak biasanya Juna kayak gini."
"Hm, coba aku yang hubungi dia, ya. Mana tahu udah bisa."
Apa pun yang Syanaz lakukan, Julie mengangguk patuh. Sayang seribu sayang, Juna tetap belum bisa dihubungi. Bahkan Syanaz sampai tidak tahu harus berkomentar apa.