Bab 1

1.4K 568 252
                                    

Tandai typo!

Mentari pagi, bersiap menyapa dunia, menyelinap di balik gedung-gedung pencakar langit, melukis langit dengan warna jingga. Embun pagi, menempel di dedaunan, menetes perlahan, menghiasi taman dengan kilauan kristal. Udara segar, menyerbu paru-paru, membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga yang mulai mekar.

Burung-burung berkicau riang, menyambut datangnya hari, berlomba-lomba menyanyikan lagu selamat pagi. Seekor kucing, berjemur di bawah sinar matahari, mengeong pelan, menikmati kehangatan mentari. Seorang anak kecil, berlari-lari di halaman, menikmati kebebasan pagi, membawa keceriaan di awal hari.

Di sudut kota, kafe kecil mulai di buka, aroma kopi dan roti panggang, menyerbu penciuman, menghidupkan suasana pagi. Para pekerja, bergegas menuju tempat kerja, berharap hari ini membawa keberkahan. Pembaca koran, menikmati secangkir kopi panas, menyeruput perlahan, menyerap berita hangat pagi hari.

Dari dalam kafe, alunan musik jazz yang lembut mengalun merdu, menyerap ke dalam udara dan menciptakan suasana yang nyaman dan menenangkan. Seolah-olah lagu-lagu itu merupakan teman setia bagi para pelanggan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Seorang laki-laki berkacamata memakai apron coklat, tengah membersihkan jendela kafe dengan cairan sabun pembersih jendela. Bibirnya tak henti-henti untuk terus bersenandung kecil, mengikuti instrumen lagu tersebut. Dari balik jendela kaca yang bersih, ia menatap ke jalan yang ramai, seakan ingin menyerap segala kehidupan yang berlalu di depan matanya.

"Len, udah belum? Bantu gue langganin pelanggan, pagi ini banyak yang dateng." Suara seruan itu menembus alunan musik jazz yang lembut. Laki-laki berkacamata itu menoleh ke arah sumber suara. Seorang laki-laki tiga tahun lebih tua berambut kecoklatan dengan apron yang sama-menoleh sejenak- tengah di sibukkan membuat pesanan.

Yang dipanggil Len itu pun tersenyum kecil sembari mengangguk. Ia meletakkan kain pembersih jendela, lalu berbalik menghampiri laki-laki itu yang masih sibuk membuat pesanan.

"Iya, Bang," jawab laki-laki itu.

Leno Alendra, laki-laki dengan kacamata yang selalu setia menghiasi wajahnya, adalah sosok yang familiar di kafe Senja. Rambutnya yang hitam legam dibelah dua, mencerminkan kepribadiannya yang rapi dan teliti. Matanya yang tajam, seolah menyerupai mata elang. Namun, di balik tatapan matanya yang tajam, terpancar sifatnya yang ramah dan menenangkan. Berkulit putih, memiliki hidung yang mancung dan bibir tipis, jika senyum, matanya pun akan ikut tersenyum. Hal itu sudah menjadi ciri khas seorang Leno. Dan memiliki tinggi 178 cm. Ia adalah seorang siswa kelas XI yang bekerja paruh waktu di kafe ini untuk menambah penghasilannya di kota ini.

Leno dibesarkan di panti asuhan. Masa kecilnya dipenuhi dengan kenangan manis dan pahit, tetapi ia mengatasi semua tantangan hidup dengan semangat yang luar biasa. Ketika Leno berusia 16 tahun dan memasuki sekolah menengah atas, ia memilih keluar dari panti untuk melanjutkan pendidikannya di Jakarta dan hidup mandiri. Keputusan itu muncul karena kepintaran Leno yang membuatnya mendapatkan beasiswa penuh selama tiga tahun di SMA Negeri Neopala, atau bisa di sebut SMAN Neo. Ia menghargai kesempatan mendapat pendidikan dan beasiswa, yang membantu mengurangi beban panti asuhan. Panti asuhan tempat Leno tinggal sebelumnya sangat jauh jika hanya dijangkau dengan berjalan kaki. Jadi, Leno memilih untuk ngekos di dekat sekolahnya.

"Pada janjian apa gimana, ya? Pesanannya rata-rata sama semua," kekeh Leno melihat pesanan mereka dominan sama. Berlalu ia membuatkan Caffee Latte untuk beberapa cup. Sedangkan Gilang-patner kerja Leno- membuatkan hidangan roti panggang.

"Kan, itu yang paling sering di beli sama pelanggan. Eh, kayaknya, bakal jadi pesanan favorit gak, sih?" tanya Gilang sembari membungkus roti panggang itu ke dalam wadah.

Leno Alendra [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang