Bab 14

683 325 136
                                    

Tandai typo!

Sinar mentari siang menembus jendela besar kaca apartemen Artaya, menyoroti ruang kerja yang dirancang dengan teliti mencerminkan kepribadiannya. Cahaya yang masuk menari di atas meja kerja berbahan kayu mahoni yang dipoles dengan kilau elegan. Di atasnya terletak laptop berlayar lebar yang terbuka menampilkan berkas-berkas kerja, berdampingan dengan buku-buku tebal yang mencerminkan minatnya yang luas.

Artaya duduk di kursi kerja kebanggaannya, sebuah kursi kulit klasik berwarna cokelat tua yang empuk dan nyaman mendukung punggungnya. Ia memejamkan mata, merasakan ketenangan yang menyergap jiwanya. Aroma lilin aromaterapi yang menyegarkan, dengan campuran aroma mint, menyebar di ruang kerja tersebut, membuat suasana semakin rileks dan menenangkan.

Ceklek!

Heningnya ruang kerja Artaya yang dipenuhi aroma mint, terusik oleh bunyi decitan engsel pintu. Pintu kayu jati berukir itu terbuka perlahan, membingkai sosok seorang pria berkemeja biru dongker yang tampak gagah. Di tangannya membawa sebuah map hijau yang berisikan data identitas seseorang.

Mark berjalan mendekati Artaya, langkahnya tegas dan tenang. Pintu kayu jati berukir itu ia tutup dengan lambat setelah memasuki ruangan. Ia meletakkan map berwarna hitam itu di hadapan Artaya yang masih memejamkan mata dengan tenang.

"Saya sudah menemukan data-data yang kau suruh," ucap Mark, suaranya menyeruak menembus hening ruangan. Artaya membuka matanya, tatapannya menembus Mark yang berdiri tegak di depannya.

Artaya membuka map itu dengan hati-hati. Di dalamnya terlampir lembaran kertas berisi data-data yang disusun rapi. Di bagian atas tertulis dengan jelas 'Identitas Pribadi', di bawahnya tertera nama lengkap, tempat tanggal lahir, alamat tempat tinggal, dan nomor identitas. Artaya mengerutkan kening, mengamati kolom 'Alamat Tempat Tinggal Sebelumnya?'. Di sana tertulis alamat yang berbeda dari alamat yang tertera di bagian atas. Matanya terus beralih ke kolom berikutnya, membaca dengan saksama informasi mengenai nama sekolah, jurusan, dan prestasi yang pernah diraih. Ia menemukan banyak informasi yang menarik dan relevan dengan apa yang tengah ia cari.

"Kecilnya tinggal di panti?" tanya Artaya, suaranya terdengar tak percaya sambil menatap data di hadapannya.

Mark mengangguk. "Benar, Tuan. Laki-laki itu tinggal di panti Jelita Kasih."

"Bukankah itu di kota lain?" tanya Artaya lagi.

"Benar, Tuan," balas Mark, menanggapi pertanyaan Artaya dengan nada serius.

Artaya terdiam sejenak, menggeleng perlahan sambil menatap data di hadapannya. Pikirannya berputar, mencari hubungan antara data yang ia dapatkan dengan tujuannya. Ia mengerutkan kening, mengamati kolom 'Nama Orang Tua'. Kosong.

Artaya terdiam, "Apakah yatim piatu?" gumamnya pelan.

"Hari ini kita ke pantinya, saya ingin tahu lebih jelas lagi," ucap Artaya, suaranya tegas menandakan keputusannya. Ia bangkit dari kursi kerjanya, menutup map berwarna hitam itu dengan hati-hati. Tuxedo yang tergantung di gantungan ia ambil dengan gerakan yang cepat dan tepat. Artaya berjalan meninggalkan ruang kerjanya, Mark segera mengikuti langkahnya dengan cepat.

Di ruang tengah, Daisy dan Grace tengah berbincang-bincang kecil seraya menonton program acara kesukaan mereka di TV. Daisy tertawa kecil mendengarkan cerita Grace yang lucu tentang kejadian kocak selama ia berada di sini. Suasana ruang tengah terasa hangat dan nyaman, membuat Artaya tersenyum sedikit menyaksikan keakraban kedua wanita itu. Namun, senyum itu cepat lenyap diganti ekspresi yang lebih serius saat ia memperhatikan jam tangan yang ia pakai.

"Love, saya akan pergi ke suatu tempat, mungkin akan kembali tengah malam nanti," ucap Artaya, menghampiri Daisy dan mencium keningnya singkat. Sentuhan lembut itu membuat Daisy tersenyum kecil, matanya menatap Artaya dengan kasih sayang.

Leno Alendra [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang