Bab 11

640 329 66
                                    

Tandai typo!

Cuaca hari minggu ini  terlihat mendung, tapi entah kenapa terasa hangat dan menenangkan. Langit berwarna abu-abu, dihiasi dengan awan tebal yang menutupi matahari. Namun, angin yang berhembus lembut membawa aroma tanah basah yang menyegarkan. Suara gemericik air hujan yang menetes dari daun pepohonan menciptakan melodi alam yang menenangkan hati.

Rasanya seperti menikmati sebuah minuman hangat di siang hari yang sepi. Suasana yang sunyi dan mendung ini justru memberikan kesempatan untuk merenung dan menikmati keheningan.

Cahaya matahari siang masih terik menembus jendela kafe, tapi udaranya sudah mulai mendung. Di luar, hujan guyur deras, suaranya menggelegar di telinga. Tapi, di dalam kafe, suasana terasa hangat dan nyaman. Hanya ada beberapa pengunjung, sebagian besar asyik membaca buku atau mengerjakan sesuatu di laptop, sambil sesekali menikmati secangkir kopi hangat atau minuman manis. Musik jazz mengalun pelan di latar belakang, menciptakan suasana yang tenang dan menenangkan. Aroma kopi menebal, tercampur dengan aroma kayu manis dari kue yang dipanggang di dapur. Di sudut ruangan, ada meja kayu berukir, dihiasi vas bunga mawar merah. Suasana yang tenang dan menyenangkan membuatmu ingin berlama-lama di sini, sambil menikmati panorama kota yang terguyur hujan dan menghirup udara segar yang menyegarkan jiwa.

Sedari tadi Leno terus menatap ke arah luar kafe, seperti tengah menunggu seseorang yang akan datang. Tatapannya tertuju pada jalan yang berada di seberang kafe, sesekali menggeleng kepala seolah mengucapkan sesuatu dalam hati. Jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme yang tak beraturan, menunjukkan kecemasan yang tersembunyi di balik wajah tenangnya.

Leno melirik jam tangannya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Seharusnya Maudy sudah tiba. Mungkin hujan deras yang mengguyur kota sejak pagi membuat Maudy terlambat. Leno tersenyum, memasukkan kembali ponselnya ke saku. Ia akan bersabar menunggu kedatangan Maudy. Setidaknya, hujan memberikan kesempatan baginya untuk menikmati suasana kafe yang nyaman dan menikmati secangkir kopi hangatnya.

"Hujan-hujan gini enaknya ngopi, ya," ucap Deansha, sambil menyesap kopi panasnya dan meletakkan cangkir itu di meja di samping Leno. Leno menoleh, menangguk setuju, matanya tertuju pada hujan yang mengguyur deras di luar jendela.

"Lo kenapa liatin pintu kafe terus, dah? Kayak orang nungguin seseorang aja." Deansha mengucapkan itu sambil tersenyum kecut, melihat Leno yang masih terpaku pada pintu kafe. Hujan di luar masih deras, menciptakan suasana syahdu yang agak melankolis. Deansha menyeruput kopinya, memandang Leno dengan tatapan yang penuh pertanyaan.

"Gue emang lagi nunggu orang, Sha," balas Leno sembari menyengir, menoleh sedikit sebelum kembali menatap pada pintu kafe.

"Siapa emangnya?"

Leno melirik Deansha. "Seseorang lah."

"Gak usah ditunggu orangnya, itu terlalu menyakitkan jika terdapat sebuah harapan," kata Deansha menggelengkan kepala, nada suaranya menyinggung sedikit kepedihan. "Lagian, kalo dia  emang gak kesini, mungkin besok dia kesini, gak usah di tungguin." Deansha  menambahkan dengan nada yang lebih tenang.

Leno terdiam mendengarnya, raut wajahnya berubah sedikit mengerutkan kening. Dia menurunkan pandangannya, menatap cangkir kopinya yang masih mengepul hangat. "Lagi sedih lo?" tanya Leno menoleh ke Deansha.

Deansha melirik balik, ia menghembuskan napasnya pelan, dadanya berdebar sesaat seperti mencoba menenangkan diri. "Gue dulunya berpikir, kalau kisah cinta yang dijalani gue bakal lurus aja, eh malah dapet yang berkelok-kelok," terangnya sambil menggelengkan kepala, senyum kecut terukir di bibirnya. Deansha kemudian kembali menyeruput kopinya, matanya tertuju pada hujan yang masih deras di luar jendela, mencerminkan sedikit kegelisahan yang terpendam dalam hatinya.

Leno Alendra [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang