Bab 6

731 426 73
                                    

Tandai typo!

Leno berjalan menunduk di lorong sekolah yang sepi. Udara pagi masih dingin, menyeruak masuk melalui ventilasi kelas yang masih tertutup rapat. Cahaya matahari menembus celah-celah daun pohon di halaman sekolah, membuat bayangan bergoyang-goyang di lantai koridor. Hanya suara langkah kakinya yang menggema di dalam kesunyian. Ia datang pagi-pagi sekali, tak ada siapa pun yang berada di sana selain dirinya.

Mata Leno menelisik sekeliling sekolah yang sepi. Di bawah jendela kelas IPA yang remang-remang, ia melihat seorang perempuan yang menatap kelas mereka. Alis Leno mengerut, mencoba mengenali sosok itu. Ia melihat tangan perempuan itu melambaikan tangannya, menyapa seseorang di dalam kelas. "Maudy?" gumam Leno. Seketika ponselnya berdering di sakunya. Dengan cepat Leno mengangkatnya.

"Halo?" sapa Leno, suaranya masih berbisik.

"Leno, yang lorong itu kamu, kan?" Suara lembut Maudy terdengar di seberang.

"Iya, mau masuk kelas. Gimana?"

"Bisa ketemu di taman sekolah, gak?" Maudy bertanya dengan nada sedikit khawatir. "Sekarang."

Leno menatap Maudy dari lantai dua, menatap perempuan itu yang tengah menatapnya juga. Tatapannya seolah memintanya untuk menemuinya.

"Lo tunggu di sana, gue nyusul. Biar ke tamannya bareng," kata Leno sebelum mematikan teleponnya. Langkahnya berputar arah menuju tangga untuk turun menemui Maudy.

Leno berlari kecil ke arah Maudy yang masih tak bergeming. Rambutnya yang hitam legam bergerak seiring langkah ringannya. Setelah tiga meter darinya, Leno berjalan seperti biasa, menatap kedua mata Maudy dengan tulus. Langkah Leno terhenti, tertangkap dalam dekapan hangat yang tiba-tiba mendarat di tubuhnya. Seolah terkesima oleh kejadian yang tak terduga, tubuhnya menegang sejenak, mencari titik keseimbangan di antara kejutan dan kehangatan.

"Maudy?" gumam Leno, kebingungan. Ia terkejut oleh pelukan mendadak itu. Haruskah ia membalas pelukan itu atau membiarkannya begitu saja? Jantungnya berdebar kencang, mencoba menentukan langkah berikutnya.

Lima detik kemudian, Maudy melepaskan pelukannya. Wajahnya merah padam, seperti tomat.  "Maaf, lancang," katanya, suaranya gemetar sedikit.

Leno tersenyum kecil, mencoba menenangkan Maudy. "G—gakpapa, kok," jawabnya, suaranya sedikit terbata. "Tapi, lain kali izin dulu, ya. Lo boleh peluk gue sepuasnya, setelah lo bisa jadi milik gue," kata Leno, suaranya mendadak berbisik lembut. Senyumnya menyeruak luas.

Lagi-lagi kata yang di keluarkan oleh laki-laki itu membuat pipi Maudy kembali memerah padam. Ia menunduk, mencoba menghindari tatapan Leno.

Sedangkan Leno berdehem kecil, menetralkan detak jantung yang berdegup kencang. "Hm, sekarang, kan? Ke tamannya? Waktunya cukup banyak buat ke sana," kata Leno.

Maudy mengangguk, seolah-olah menyerah pada rayuan Leno. Langkahnya menjauh dari Leno, seperti burung yang terbang meninggalkan sarang yang nyaman. Ia tak mau bertatapan dengan Leno, takut akan terjebak dalam pesona mata yang menawan itu. Senyum Leno merekah melihat kelakuan Maudy yang terlihat lucu di matanya. Seolah melihat anak kucing yang sedang bermain sembunyi-sembunyi.

Taman sekolah itu, seolah-olah surga kecil tengah kepadatan bangunan sekolah. Tempat terbaik kedua setelah kantin, bagi semua siswa dan siswi. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, menawarkan teduh dan keteduhan yang menenangkan. Bunga-bunga beraneka warna bermekaran indah, menebarkan aroma harum yang menyegarkan. Di tengah-tengah taman, terdapat kolam kecil dengan air yang jernih bermandikan cahaya matahari. Suara gemericik air yang mengalir lembut, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Bangku-bangku kayu berjajar rapat, menawarkan tempat yang nyaman untuk beristirahat sejenak dari padatnya jadwal pelajaran. Di taman ini, waktu seolah berhenti sejenak, menawarkan kesempatan bagi setiap orang untuk menikmati keindahan alam dan menenangkan pikiran yang penuh dengan pelajaran yang membingungkan.

Leno Alendra [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang