KALI kedua bagi Karina menginjakan kakinya di rumah Langit yang sama seperti rumahnya, sepi. Bahkan rumah anak cowok itu benar-benar jauh lebih sepi dibandingkan rumahnya. Karina hanya bisa tersenyum miris.
Ya, karena kemarin Karina sibuk berkutat dengan tugas kimia pemberian Bu Gendut yang sadis itu menjadikan Karina harus bolos jadwal lesnya dengan Langit. Dan jadilah Karina baru memulai lesnya lagi hari ini, di rumah Langit-cowok dingin yang sangat menyebalkan itu.
"Lo mau minum apa?" tanya Langit yang memecahkan keheningan.
"Apa aja asal jangan air got," jawab Karina asal dengan kedua matanya yang sibuk memandangi rumah Langit.
Setelah kepergian Langit yang hendak membuatkan minum untuknya di dapur, Karina tak sengaja melihat foto kolase kecil yang didirikan di atas laci, bersebelahan dengan guci serta pajangan kecil lainnya yang berada di sana. Mata Karina tertarik untuk melihatnya, dan dia mendekati foto kolase itu supaya terlihat dengan jelas oleh indera penglihatannya.
Terlihat ada dua anak laki-laki, satu pria paruh baya yang sudah pasti merupakan ayah dari Langit, dan satu wanita yang terlihat sedang memangku anak perempuan yang diduganya adik dari Langit. "Ohh jadi Langit punya adek cewek," gumamnya pelan dengan kedua mata yang masih fokus melihat kolase foto itu.
Setelah dirasa cukup untuk memandangi bingkai foto keluarga Langit, Karina kembali duduk di kursi. Alih-alih takut ke-gep oleh pemilik rumah, sangat memalukan pasti.
Tak butuh waktu lama untuk membuatkan minum pada tamu yang tidak diundang itu, Langit membawa dua botol soft drink dan sisa camilan yang masih utuh, yang dijadikan satu nampan berukuran sedang. Untung saja di rumahnya masih tersisa camilan yang tidak dihabisi oleh teman-teman laknatnya itu, kalau tidak Langit malas untuk membelinya di luar dulu.
Ia tidak mau mengeluarkan effort banyak untuk gadis menyebalkan itu.
Langit langsung menaruh bawaannya di atas meja ruang tamu tanpa sepatah kata satupun dan kemudian duduk di kursi. Pandangannya menghadap ke arah cewek itu yang sibuk mengeluarkan alat tulisnya dari dalam tas. "Mana tugas yang lo bilang susah?" Langit bertanya tanpa basa basi.
Karina menyodorkan buku matematika wajibnya pada Langit yang langsung diterima senang hati, Langit membaca soal pertama dan sedetik kemudian menghela napas pelan.
Lagi-lagi soal tentang eliminasi subtitusi.
"Ini tinggal dipindahin ruas doang," kata Langit dan dia mengambil pulpen miliknya yang sudah disiapkan sedari awal. Lalu menulis suatu angka dibuku khusus coret-coretan. "Angka empat y ini dipindah ruas ke kanan, jadi di sini ditulis dua x 'sama dengan' dua puluh delapan dikurang sama empat y yang tadi." ucap Langit menjelaskan dengan perlahan. "Gimana cara biar koefisien variabel x ini harus hilang angkanya?" Kini cowok itu malah melempar pertanyaan pada Karina, yang membuat dia semakin bingung.
Yang terlihat jelas sekali dimata Langit. "Harus dibagi dua dulu," kata Langit dan dia memberi jeda pada ucapannya. "Kedua ruas dibagi dua, biar koefisien x ini hilang angkanya. Jadi, x sama dengan 14 - 2y."
Karina menganggukkan kepalanya hingga beberapa kali, pertanda dia sedikit paham dengan penjelasan yang sedari tadi dilontarkan oleh cowok itu. "Terus abis itu diapain lagi?"
"Diliatin,"
"Ih?" Cewek itu merenggut kesal.
"Sabar, dengerin dan pahami. Masukin semuanya jadi 3 (14 - 2y) + 2y sama dengan 22. Terus hitung yang bisa dihitung," Tangan Langit menulis angka di sana dengan cepat hingga memperoleh hasil akhir dari soal nomor satu itu. "Setelah kedua ruas dibagi minus empat hasil y yang didapat sama dengan lima."
KAMU SEDANG MEMBACA
MahardiKarina
Teen FictionLangit Adrian Mahardika. Cowok berparas diatas rata-rata dengan kepintarannya yang sudah tidak diragukan lagi sekaligus MABA universitas negeri di Yogyakarta. Mauretta Karina. Perempuan yang dipaksa masuk jurusan IPA, bodoh dalam pelajaran matematik...