"Mmmmh... Mr. Nathan... tentu saja... mmmh... karena Anda... Anda terus mengusapnya. Ahhh... mmmh...." Aku ingin sekali Mark berhenti melakukan permainan berbahaya ini, tapi sentuhan Mark di kewanitaanku selalu membuatku lupa diri. Mark sudah tahu benar bagaimana membuat milikku senang, jadi dalam bahaya macam apapun, aku akhirnya tak bisa menolaknya. Entah sudah berapa kali kami hampir ketahuan oleh ibu, tapi dalam keadaan terdesak, pinggulku tetap bergoyang menerima penis Mark di dalamnya.
"Kalau begitu, harus diperiksa lebih saksama!"
"Oh! Mark! Jangan!"
Tapi terlambat. Sebelum aku bisa mencegah, Mark sudah lebih dulu berlutut di belakangku. Dengan kedua tangannya, Mark membenggang lebar bagian belakangku sehingga milikku pasti terlihat amat jelas di depannya. Mark meneliti. Mukanya berada tepat di balik bokongku. Jantungku berdebar kencang. Aku bisa membayangkan Mark sedang memincingkan mata, mencoba melihat ke liang kecilku yang gelap.
Napasnya yang terengah dan panas meniup bagian belakang vaginaku yang mengintip. Hidung Mark semakin dekat dengan milikku, tatapannya seakan membelai area intimku. Dia belum melakukan apa-apa, tapi tubuhku sudah bergetar. Setelah puas meneliti, Mark menghirup aroma intimku dalam-dalam, kemudian dia melepas kacamatanya dan menaruhnya di meja, di samping tubuh bagian atasku yang tertelungkup.
Aku begitu penasaran sejauh mana Mark akan berani menyentuhku di sini. Di luar begitu sunyi. Kelihatannya aman. Tidak akan ada guru yang tiba-tiba muncul. Aku tidak mendengar suara langkah kaki, atau tanda-tanda kehidupan dari jarak dekat. Mark tidak kunjung melakukan sesuatu.
"Eum... Sir... b—bagaimana pemeriksaannya?" tanyaku bandel.
"Yah... Ms. Nathan... milikmu kelihatannya sangat bersih dan terawat, Aromanya juga segar... luar biasa...," jawab Mark mengikuti permainan. Kali ini dia lebih kedengaran seperti seorang dokter dan bukan guru. Suara Mark terdengar berat, dia pasti sedang kesulitan menahan nafsu.
Aku nekat mendorong pinggulku mundur. Hidung Mark terbenam singkat di dalam milikku. "Ouh maaf Mr. Nathan...!"
Mark menggeram, menarik mukanya ke belakang. Aku tertawa kecil.
Dia kembali pada karakternya. "Tapi... masih ada satu masalah lagi, Ms. Nathan....?
"A—apa itu?" tanyaku, pura-pura gugup.
"aku tidak bisa menentukan apakah kau barusan habis berhubungan seks atau tidak," sambungnya, berbicara sendiri. "Karena itu... aku harus memeriksanya lebih dalam."
"Ah!"
Mark menggunakan ujung jari telunjuknya untuk menyelip ke dalam lipatan labiaku yang menutup cukup rapat meski kakiku terbenggang. Setelah memekik kaget, otomatis tubuhku mengejang tersengat saat ujung jari Mark dilesakkan masuk dalam keadaan tidak terlalu basah.
"Masih sempit," kata Mark sambi mencabut jarinya dariku. "Tapi itu tidak membuktikan apapun, Ms. Nathan. Liang kekasihku juga selalu sempit meski sudah kusetubuhi ratusan kali."
"Mmmh... Maaark," aku mendesah. Mendengar Mr. Nathan menyebut-nyebut kekasih yang maksudnya adalah aku sendiri membuat dadaku bertalu kencang. "Lalu... apa yang harus kulakukan untuk membuktikan—ouw! MARK!"
Panggulku bergetar. Mark menahannya. Alih-alih berhenti, Mark justru memasukkannya lagi lebih ke dalam. Pada tusukan ke sekian kali, kedua kakiku gemetaran. Lama kelamaan, jari Mark menggelincir lebih mudah. Mark mencabutnya lepas. Ketika dia memasukkannya lagi, aku tahu dia sudah membasahi jarinya dengan ludah. Jari itu keluar masuk dengan leluasa. Aku menggigit erat bibir bawahku.
"Ohhh... Ms. Nathan... kau menelan jariku dengan mudah... apa ini karena vagina kecilmu terbiasa dimasuki penis yang lebih besar?" tanya Mark.
"Ah... tidak, Mr, Nathan!" sangkalku.