Chapter 3.
The Class Room
Hari sudah semakin gelap, tapi belum ada tanda-tanda truck Mark muncul di parkiran sekolah. Aku telanjur menolak tawaran Bianca yang dihampiri kakak laki-lakinya sepulang kerja karena Mark bilang dia akan langsung kemari begitu shif-nya selesai. Ariana juga sudah duluan. Sepertinya dia akan pergi dengan Bryan. Mungki sebentar lagi mereka akan berkencan. Aku bisa kemalaman. Kalau Mark tidak jadi menjemput, aku harus bagaimana? Tidak ada taksi yang mau menjemput anak sekolah. Sisa uang sakuku juga belum tentu cukup.
Seharusnya aku tidak mempercayai Mark. Dia sering sekali terlambat.
Aku merapatkan jaketku. Rambutku masih basah. Petang ini adalah hari terakhir klub renang dibuka. Minggu depan sudah memasuki minggu tenang menjelang ujian akhir tahun ajaran. Sama dengan Bianca, aku tidak ingin melewatkan hari terakhirku bersenang-senang bersama kawan seklub. Kata ibu, aku harus prihatin. Sebentar lagi kami ujian. Aku minta Mark menjemput supaya kami bisa berduaan lebih lama.
Kalau tahu Mark akan terlambat dan membuatku duduk sendirian di sekolah menjelang gelap, lebih baik tadi aku pulang duluan naik bus. Aku cemberut terus sejak tadi. Mark belum menghubungiku sama sekali. Terakhir kali aku menulis pesan untuknya sudah tiga puluh menit yang lalu, sewaktu aku mengemasi barang-barangku di loker. Sejak itu dia belum kunjung membalas.
Biar kutelpon sekali lagi.
Mark biasanya tidak suka ditelpon kalau sedang bekerja. Kalau dia bilang dia akan datang, dia pasti datang. Dia akan mengomeliku kalau aku mengganggunya. Katanya suara manisku membuatnya susah konsentrasi dan ingin cepat pulang. Kalau itu benar, itu bagus. Aku sudah lelah menunggu. Tapi, aku urung mengambil ponsel dari dalam tas. Bagaimana kalau Mark sedang meeting, atau mengerjakan pekerjaan yang sangat serius?
Sekarang Mark sudah menjadi pegawai tetap sebuah kantor pusat perbelanjaan. Salah satu teman ibu yang memberinya pekerjaan itu. Setiap pagi Mark pergi ke kantor dalam busana rapi yang membuat penampilannya jauh lebih keren. Aku sangat bangga padanya, sekaligus khawatir. Bagaimana tidak? Mark punya banyak penggemar.
Dia mendapat banyak pesan rahasia dari pelanggan maupun karyawan lain yang berpura-pura mengajukan keluhan, tapi ujung-ujungnya selalu menggoda. Aku pernah memeriksa poselnya diam-diam dan Mark memarahiku. Katanya itu tidak sopan. Aku balas mendiamkannya selama beberapa hari dan tidak lupa mengunci pintu kamarku setiap malam. Akhirnya, Mark menunjukkan padaku bagaimana dia membalas ajakan gadis-gadis gatal itu. Dia bilang pada mereka bahwa dia punya kekasih. Tapi tetap saja, aku tidak diizinkan melihat-lihat ponselnya tanpa izin.
Eh... lho... di mana ponselku?
Aku menepuk jidatku kencang-kencang. Astaga... sepertinya aku meninggalkannya di kelas. Setelah mengemasi barang-barang di loker tadi, Ms. Foreman meminta bantuanku membawakan sebagian tumpukan tugas kelas bahasa yang tertinggal di mejanya. Aduh... pantas saja Mark tidak menghubungiku.
Tanpa berpikir dua kali, aku berlarian kembali ke dalam, menerobos lorong-lorong sunyi yang meski lampunya sudah dinyalakan untuk pemeriksaan terakhir oleh penjaga sekolah tetap saja terasa mencekam.
Ketemu!
Aku mengusap dadaku lega. Syukurlah tidak hilang atau keburu ditemukan penjaga sekolah. Selama ini aku menjaga rapat-rapat ponselku dan tidak membiarkan siapapun menyentuhnya. Banyak sekali foto-foto nakalku di dalam sana yang biasanya kuambil karena Mark menyuruhnya. Walaupun aku sudah memasang mode sidik jari dan kata sandi untuk menguncinya, tetap saja aku was-was. Aku buru-buru membukanya, dan benar saja... Mark menelepon beberapa kali. Aku membuka salah satu pesannya dan ternyata dia memintaku menemuinya di kafe depan sekolah, daripada dia harus memasukkan mobilnya ke pekarangan.