“Kau benar-benar harus dihukum,” geram Mark. Tubuhku dijatuhkannya di sofa dan ditindihnya. Aku mengeliat, tapi Mark mencekal kedua pergelangan tanganku ke atas, dia menciumi bibirku dengan gemas, lalu tangannya meraba dadaku dan membuka kancing-kancing mantelku dengan tak sabar. Mark melahap mulutku dengan rakus, menjilatiku sampai aku sulit bernapas. Aku terengah, berat badan Mark sepenuhnya menimpaku. Pinggangnya menggesek selangkanganku yang hanya terlindungi celana dalam tipis. Aku mengerang, tapi Mark terus mengayun pinggulnya kuat-kuat seolah kami sudah mulai bersanggama.
“Maaark… mppph… mpph… tidak bisa… bernapas…,” keluhku.
“Rasakan…,” erangnya sambil mengentak milikku kencang sekali.
“Maaark!” rengekku.
“Sakit, kan?” tanya Mark keji. “Hm? Sakit. Iya? Rasakan, Kim… ah… keras sekali, kan? Hm? Kusetubuhi di sini ya, Kim? Oh… Kim… kau pacar yang pintar… kau datang saat aku membutuhkanmu, Kim….”
“Ta—tapi, Mark… kau bilang aku bodoh?” tanyaku bingung. “Kau bilang sibuk… kenapa kau membutuhkanku?”
Mark tertawa kecil, dia berhenti menggesekku. “Ya… kau bodoh… sekaligus pintar… aku memang sudah sangat penat dengan pekerjaan ini… sejak tadi aku membayangkan menidurimu sampai puas, sampai kau menangis dan minta aku berhenti, tapi pekerjaan ini menumpuk. Semakin aku membayangkanmu… aku malah terus membuat kesalahan, makanya aku berkata ketus padamu, Kim… kau malah mengirimiku foto-foto itu… aku hampir gila dibuatnya….”
“K—kau suka fotonya, Mark?”
“Mmmh… suka sekali, Sayang… kau sangat seksi….”
“Tapi… kenapa kau tidak menyuruhku membuka semuanya?”
“Karena aku sedang banyak pekerjaan!”
“Mmmmh… sekarang pekerjaanmu sudah selesai, Mark?”
“Sudah, Sayang….”
“Kalau begitu… ayo kita pulang, Mark… ayo kita bercinta semalaman sampai pagi… ayo, Mark, cepat, berdiri!” kataku sembari meronta, tapi Mark malah kembali mencengkeram erat kedua pergelangan tanganku di atas kepala.
“Untuk apa kita pulang, Kim?” tanyanya sembari duduk tegak di atas pinggangku dan melucuti dasi yang melingkar di lehernya. “Kenakalanmu sudah di luar batas…,” geram Mark, dasi itu ditariknya lepas dari lehernya. Kemudian, Mark melucuti mantel dari tubuhku dan melemparnya ke lantai.
Aku diam saja, tapi saat Mark mengikat kedua tanganku di aras kepala dengan dasinya, aku merengek minta dilepaskan. Aku ingin menyentuhnya.
“Diam!” bentak Mark jengkel. “Kau tidak boleh protes, atau minta macam-macam. Ini hukuman, aku tidak main-main! Sekarang…,” Mark menyelipkan tanganku ke celah lengan sofa dalam-dalam. “Kalau kau membuka ikatannya, aku akan marah.”
“Ah… tapi, Mark….”
“Hssst….!” Desis Mark. Dia mencari-cari, lalu beranjak dari tubuhku setelah mengancam supaya aku tidak bergerak. Saat kembali, dia membawa sebuah lakban berwarna abu-abu dan menariknya sepanjang lima belas sentimeter. Aku memelotot dan menggeleng, sudah menduga apa yang akan Mark lakukan. Dia kembali menduduki perutku dan menempelkan lakban itu melintang di wajahku, menutup rapat mulutku. “Sekarang kau akan belajar supaya tidak berkeliaran di jalan hanya memakai pakaian dalam. Kau milikku, Kim! Kalau ada orang lain melihatmu seperti ini, kau akan membuatku menjadi pembunuh. Kau mau aku jadi pembunuh?”
Aku menggeleng-geleng karena tak bisa menjawab.
“Bagus… sekarang… aku akan memerkosamu…,” katanya. “Kau akan pulang denganku dalam keadaan telanjang di balik mantel!”