In The Pool
Mark memotong steak di piring keramiknya dengan jengkel.
Ayah dan ibu saling mengadu pandang karena mereka tahu merekalah penyebab Mark merasa kesal. Pesawat mereka ke New York ditunda beberapa jam gara-gara cuaca buruk. Mark yang ditugasi mengantar ke bandara terpaksa tidak bisa ke mana-mana dan harus berjaga di rumah sepanjang hari sampai maskapai memberi kabar selanjutnya. Sejak tadi kami berputar-putar di mal dan akhirnya memutuskan makan malam lebih awal di restoran untuk menghabiskan waktu.
"Kita baru bisa terbang tengah malam nanti," gumam ayah sambil membaca surel di ponselnya.
"Mereka mengabari?" tanya ibuku. "Astaga... tengah malam?"
Mark memutar bola mata sambil mendengkus keras. Dia baru mendecap saat sang ayah memelototinya. Aku tidak menyalahkan Mark. Aku yang lumayan sabar juga sudah mulai lelah. Mukaku terlipat dan makananku jadi terasa tidak lezat lagi. Aku ingin berbaring. Kalau mereka tepat waktu, saat ini aku sudah jalan-jalan bersama Mark, mungkin pulang dan menikmati waktu berduaan sambil menonton televisi. Aku ingin duduk di depannya dengan lengannya memelukku erat sambil menonton series kegemaranku. Episode barunya tayang malam ini.
Aku yakin, selama menonton, Mark akan terus mencoba menggodaku. Tangannya akan menyelinap di balik kausku dan meremas-remas payudaraku. Kalau sedang di rumah, atau di kamar berduaan, Mark selalu melarangku mengenakan bra. Katanya untuk menurunkan risiko kena kanter payudara. Menurutku itu ide yang bagus. Tapi, kalau ibu yang melihatku berkeliaran di rumah tanpa bra, dia akan langsung marah. Soalnya dadaku cukup besar karena Mark sering menyentuhnya. Kalau tidak pakai bra, putingku tercetak di balik kaus.
Kemudian, setelah film-nya selesai, kami bisa bercinta sepanjang malam di sofa, atau di kamar ayah dan ibu. Di sana tempat tidurnya sangat luas. Kami juga bisa mandi bersama dan berendam, lalu bercinta lagi sampai kelelahan. Sekarang, mereka malah nggak kunjung pergi. Masa kami harus menunggu sampai tengah malam di restoran atau jalan-jalan di mal? Mark bisa benar-benar mengamuk.
"Apa yang harus kita lakukan sampai tengah malam?" keluh ibuku cemas.
"Tenang... mereka memberi kita kompensasi untuk beristirahat di hotel dekat bandara. Kalian berdua bisa menikmati kamar mewah dengan pool access sampai check out esok hari. Kita bisa tidur dulu sampai pukul sepuluh, Sayang... oh... aku lelah berjalan-jalan tak tentu arah sejak siang ini. Ayo lekas habiskan makan malam ini supaya kita bisa segera ke sana."
Oh... syukurlah....
Mendengar hal itu, mata Mark langsung berbinar cerah. Aku yang duduk di depannya mengernyit curiga, tapi juga tidak heran melihat ekspresi cemerlang di wajahnya. Pipiku memerah panas membayangkan gagasan apa yang terlintas di benak Mark sekarang, pastinya melibatkanku di dalamnya. Kami berempat makan dengan cepat dan buru-buru meninggalkan restoran menuju hotel yang ditunjuk maskapai sebagai kompensasi keterlambatan penerbangan kelas bisnis milik ayah dan ibuku.
"Ingat, Mark... jaga adikmu baik-baik. Mengerti? Jangan ke mana-mana malam ini. Jangan tinggalkan dia di kamar sendirian untuk berkeliaran di bar atau klab malam hotel ini. Kalau kau tak mau berjanji, aku akan menghubungi pihak hotel untuk melarangmu masuk ke pub mereka. Aku serius!" Ayah Mark menuding wajahnya saat kami semua baru masuk kembali ke dalam mobil.
Sambil memasang sabuk pengaman, Mark bertanya, "Bagaimana kalau aku mengajak Kim ke klab malam itu?"
"Kau sudah siap kubunuh?" bentak Ayah Mark.
Aku dan ibu tertawa.
Aku tidak tahu apa Mark serius atau tidak dengan ucapannya. Aku mau-mau saja diajak masuk ke pub atau klab malam, tapi aku belum cukup umur untuk masuk ke tempat-tempat semacam itu. Mark memang pernah mengajakku menonton gig saat kami pertama kali berkencan, kami bahkan hampir bersetubuh di lantai dansa. Bedanya waktu itu kawan Mark bekerja di bar tersebut dan mereka bisa memasukkanku dengan mudah.