1. Telur Mempertemukan Mereka

303 8 0
                                    

     Belum ada cahaya matahari di pagi itu. Tentu saja, karena hujan sedang turun. Tidak terlalu deras, tidak gerimis juga. Araya masih berbaring di atas kasurnya. Tadinya ia sudah bangun untuk sholat subuh, tapi karena hari itu adalah hari sabtu, ia memilih untuk tidur lagi. Namun bukannya tertidur, suara hujan di luar sana malah membuatnya melek. Ia menyukai iramanya. Dalam damai ia menikmati suasana itu.

     "Aya...!"

     Itu suara Buk Rina—Ibunya Araya yang berteriak dari arah dapur.

     "Apa ma?" Balas Araya masih berbaring di atas kasur.

     "Tolong belikan telur ya."

     "Yah mama, di luar lagi hujan ma!"

     "Kan bisa pakai payung!"

     "Masih agak gelap loh ma! Seram."

     "Heleh, mana ada lagi hantu jam segini. Udah cepat pergi sana! Sebentar lagi papamu mau sarapan."

     "Ya'allah.. Masih subuh udah ada aja cobaan yang menerpa."

     Mau tak mau ia harus melakukan perintah ibunya. Lagi pula kedai yang menjual telur berada tidak jauh dari rumahnya.

     Araya masih mengenakan pakaian tidurnya, berupa celana panjang berbahan katun jepang dengan motif kucing dan kaos hitam polos longgar yang ia lapisi dengan jaket hitam yang hoodienya sudah menutupi bagian kepalanya. Itu karena ia tak mengenakan jilbab, setidaknya hoodie itu bisa menutupi rambutnya.

     Diraihnya payung bertuliskan Danamon dari dalam guci yang nyaris pecah, karena sudah retak di banyak sisi.

     Ia pakai sandal swallow milik ayahnya—karena hanya sandal itu yang terlihat di teras rumahnya. Sandal jepit itu terlihat pas di kakinya. Ya, ukuran kakinya tak seperti ukuran kaki wanita pada umumnya. Agak jumbo memang.

      Omak, bersih kali swallow papaku. Kalau aku pake, kotor pula ya kan.

     Ayahnya tipe orang yang sangat pembersih. Bahkan sandal jepitnya saja hampir setiap hari dicuci biar tetap terlihat kinclong seperti baru.

     Tapi gak papalah ya, palingan ntar kotor dikit.

     Sebelum melangkah keluar rumah ia lipat sedikit ujung celana katunnya, karena celananya sepanjang mata kaki. Jika tidak dilipat, tentu bagian bawahnya akan basah terkena tempiasan hujan.

     Araya buka payungnya. Tampaklah beberapa kerangka payung yang sudah terlepas, juga ada yang bengkok. Maklum, umur si payung sudah sangat tua.

     Sebenarnya ia memiliki payung lainnya yang jauh lebih bagus, tapi payung hadiah dari Bank Danamon ini ukurannya lebih besar. Itu sebabnya Araya sering menggunakan payung ini.

     Udah ada donat gak ya di kedai?

     Sambil memikirkan donat, Araya mulai melangkah ditemani langit mendung yang masih setia dengan hujan gerimisnya.

     Timbul perasaan tenang ketika melangkah di bawah hujan. Aroma tanah kering yang terkena air hujan tak pernah mengecewakan. Memang tak seharum itu, tapi aroma itulah yang selalu dinanti dikala hujan turun.

    Kedainya tampak ramai dengan keberadaan ibu-ibu. Sebagian dari mereka berada di dalam kedai, dan sebagiannya lagi duduk di depan kedai sambil bergosip. Hujan tak menjadi rintangan untuk mereka, bergosip jauh lebih penting dibandingkan dengan anak-suami yang tengah menunggu sarapan di rumah.

    "Eh ada Araya. Subuh-subuh begini mau beli apa?" Tanya Bang Bambang si pemilik kedai.

    "Beli telur bang." Sahutnya sambil menarik plastik kresek yang tergantung di depan meja kasir. "Sepuluh ribu dapat berapa telur bang?" tanyanya lagi yang sudah berdiri di hadapan tumpukkan papan telur.

DOKTERKU SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang