16. Perhatian Evan

27 1 0
                                    

     Araya meneguk air putih pemberian Evan. Tak tahu apa yang sedang ada dipikiran si Evan. Ia memberikan Araya minum dengan gelas yang tadinya dia pakai. Mungkin karena terlalu mendadak dan tak sempat bergerak untuk ambil gelas yang baru, sedangkan Araya sudah terbatuk-batuk tak menentu. Tau lah ya, seperti apa rasanya tersedak dikarenakan cabai rawit. Perih wak.

     Air minum milik Evan sudah ia habiskan. Tapi tenggorokannya masih terasa perih. Buru-buru ia melangkah menuju meja makan untuk mengambil pisang. Dimakannya perlahan karena terasa sakit ketika menelan. Sambil menelan pisang, sambil meneguk air. Perlahan rasa perih itu mulai menghilang.

     Masih duduk di sofa. Evan hanya menggelengkan kepala melihat tingkah aneh Araya. Sebenarnya dia tak kaget sama sekali dengan hal itu. Selama ini ia sudah mendengar banyak hal tentang Araya dari Kijol. Apa yang baru saja ia lihat hanyalah salah satu dari yang ia ketahui.

     Araya kembali duduk di sofa, di samping Evan. Ia lanjut menyantap makan malamnya. Malah menambah lauk berupa martabak mesir yang ia beli tadinya. Aneh memang, tapi nyatanya enak loh makan martabak mesir dengan nasi. Ko cobalah kalau gak percaya.

     Ketika itu ponsel Evan berdering. Mungkin ada yang sedang meneleponnya. Tanpa beranjak dari sana, Evan menerima panggilan itu.

      "Assalamu'alaikum "

     "Ya? Ya aku masih di Aceh."

      "Sudah kerja di sini. Belum tau kapan lagi ke sana."

      "Kota Langsa."

      "Ya boleh saja."

      "Ada banyak penginapan kok."

      "Aku lagi di rumah tetangga. Buka puasa bersama."

      "Ya, tetangga samping rumah."

      Obrolan Evan tak juga usai, membuat Araya tak fokus pada makanannya dan malah menguping obrolannya. Sejak tadi Araya mencoba menebak, akan ke arah mana topik pembicaraan itu. Tapi dari ucapan Evan yang dia dengar, bukankah respon Evan terlalu datar?

      "Berdua aja sama bunda."

      "Oke, ntar disampaikan."

      "Oke. Wa'alaikumsalam."

     Hanya sampai di situ dan obrolan itu pun selesai. Araya reflek menatap Evan dengan tatapannya yang seakan berkata 'Begini cara kau teleponan sama temanmu?' Sangat tidak bersahabat. Tapi ya kita juga tak tahu, siapa yang baru saja menelepon Evan. Mungkin si penelepon memang tak seberharga itu bagi Evan.

     Dia bahkan hanya menjawab pertanyaan tanpa sekalipun balik bertanya.

     Evan menyadari tatapan yang dilayangkan Araya padanya. Evan balik menatap Araya yang sedetik kemudian Araya langsung memalingkan wajahnya. Ia lanjut menyantap makan malamnya itu.

     Araya baru saja memasukkan sesuap nasi berserta martabak mesir ke dalam mulutnya. Tapi benar-benar tak tertahankan, ia bersin dengan sangat mendadak. Membuat semua yang ada di dalam mulutnya terlempar keluar hingga mendarat kacau di atas lantai.

     Ia shock bukan main. Bagaimana bisa ia melakukan hal yang sangat memalukan seperti itu. Terlebih lagi ia melakukan itu di samping Evan.

     Tak hanya Araya, Evan juga tampak kaget. Lihat saja, Evan sampai terdiam seperti itu. Mungkin tontonan yang seperti itu baru pertama kali ia lihat.

     "Astagfirullah. Aya! Kok jorok kali." Sudah bisa ia tebak. Ibunya pasti akan menarahinya.

     "Gak sengaja loh ma." Ujarnya yang langsung cepat-cepat mengambil tisu.

     Ia kumpulkan semua ranjau yang bertebaran di lantai. Saat itu ia tak berani melirik Evan. Malu kali woy!

     Lagi dan lagi, Evan menahan dirinya sekuat mungkin untuk tidak tertawa. Jujur sih, barusan itu lucu kali menurut Evan. Ditambah ekspresi kaget di wajah Araya, itu benar-benar sangat menggemaskan.

     Sekitar jam setengah 8 sebelum azan isya berkumandang, Evan dan Buk Memei pulang. Buk Rina sedang mencuci piring sisa--yang sebelumnya sudah banyak dicuci Buk Memei juga.

     Setelah sholat isya, Pak Anto menonton pilem di televisi. Ditemani Buk Rina yang memilih menonton channel youtubenya para artis dari ponselnya.

     Terjadilah perang volume. Pak Anto semakin menaikkan volume tivi, Buk Rina pun tak mau kalah. Ia juga menaikkan volume ponselnya. Araya sih tak ikut campur, karena dia sudah tepar di kamar.

     Sejak tadi ia tak berhenti bersin dan sekarang hidungnya mulai tersumbat. Jelas sekali dia pasti terjangkit flu. Kemungkinan besar dikarenakan hujan gerimis di sore tadi. Dikarenakan ingus yang menumpuk pada lubang hidung, tidur pun harus menganga. Ya, Araya bernafas hanya dari mulut.

     Berharap besok akan segera pulih, Araya minum obat flu pemberian ibunya. Tapi ia lupa mengenai efek mengantuk yang sangat dahsyat usai mengkonsumsi obat itu. Baru jam setengah 9, tapi Araya sudah tetidur sangat pulas.


---


     Entah apa mimpinya pada malam itu. Ketika terbangun di jam set 6 pagi, badannya terasa sangat kelelahan. Matanya masih sangat berat dan hidungnya tersumbat total. Ingusnya sudah mengeras seperti semen kali ya.

     Araya tahu bahwa ia harus segera sholat subuh. Tapi rasa pusing melandanya. Tentu tak bisa dibiarkan. Langsung saja ia lawan semua itu.

     Ia duduk sejenak di tepi kasur guna mengumpulkan semua kesadarannya. Ia rasakan tubuhnya seakan mengambang di udara.

     Kok dingin kali pagi ini ya? Padahal gak hujan.

     Ia matikan AC di kamarnya lalu melangkah masuk ke dalam kamar mandinya. Baru saja ia mengguyur kedua tangannya dengan air keran, seluruh tubuhnya langsung meriang hebat. Cukup membuatnya kaget memang, tetapi Araya tetap lanjut mengambil wudhu.

     Ia sudah selesai sholat subuh. Pusing yang ia rasakan semakin kuat, karena itu dia kembali berbaring di kasurnya, yang malah kembali terlelap.

     Di luar kamar itu, Buk Rina yang sedang merebus jahe dan sere di dapur diherankan dengan Araya yang hingga sekarang belum juga keluar dari kamar. Padahal biasanya pada jam itu Araya sudah duduk di depan televisi menunggu sarapan dibuat. Karena penasaran, Buk Rina hampiri anaknya itu.

     "Astagfirullah.. Aya! Udah jam berapa ini? Kok masih tidur?!!" Tegur ibunya. Yang terdengar sih seperti sedang meneriaki maling. Ya begitulah, namanya juga Buk Rina. Kalau gak teriak, gak enak dirasanya.

     Teriakan Buk Rina sukses membangunkan Araya. Masih tampak oleng, Araya cek jam pada layar ponselnya.

     "Jam 07.50 ?!!!!!!!!!" Matanya melotot nyaris keluar dari kelopak matanya. Dengan gerakan yang super kilat, Araya berlari masuk ke dalam kamar mandinya. Mau secepat apapun, tetap saja dia gak akan bisa tiba di RS tepat waktu. Sudah pasti bakalan telat.

     Araya baru saja tiba di RS yang seperti biasa akan disambut dengan barisan gigi kuning milik Pak Kamil. Tapi dikarenakan sudah sangat telat, Araya hanya tersenyum tipis sambil berseru, "Maaf ya pak. Saya buru-buru. Sudah telat."

     Araya melangkah dengan sangat terburu-buru. Ia masih bisa mengontrol kakinya agar tak berlari. Ia memasuki ruang tunggu lalu melangkah menuju alat fingerprint. Setelah absen, ia lekas berjalan melewati pasien yang yang sedang menunggu.

     Sambil terus menahan rasa pusing yang hingga kini tak juga hilang, Araya membuka pintu ruangan Poli Mata.

     Tampaklah olehnya Buk Ayu dan Buk Siti yang sedang menggunakan alat tensi digital pada pasien. Lalu tak jauh dari mereka, tampak Evan sedang melihat ke arahnya. Ya, Evan sedang memandangi wajah Araya selama beberapa saat sebelum kembali fokus pada pasien yang ada di hadapannya.

Continued..


DOKTERKU SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang