Satu

93.5K 3.8K 49
                                    

Aku keluar dari kamar mandi, dengan baju yang sedikit basah dibagian depan. Sambil memegang tangan kanan gadis kecilku yang berjalan dengan langkah kecilnya disampingku. Tangan kirinya yang mungil memegang lilitan handuk di tubuhnya. Membuatku tertawa kecil melihat tingkah lucunya yang seakan takut handuk berwarna pink itu akan melorot dari tubuhnya yang mungil. Padahal di kamar ini hanya ada kami berdua.

''jangan tawa Mama.'' Bibir mungilnya mengerucut lucu,seolah tau kalau aku memang menertawakan tingkah lucunya.

Aku hanya mengangguk anggukan kepalaku pelan, tidak menjawab perkataannya. Putri kecilku ini sangat cerewet, kalau aku ladeni perkataannya, ku pastikan kami akan berdebat.

Tahun ini, usia Oryza empat tahun. Dia sudah lancar mengolah kata, perkataannya yang dulu hanya dimengerti olehku, sekarang hampir semua orang yang mengenalnya pun mengerti akan ucapannya. Oryza, termasuk anak yang cepat tanggap dan tidak terlalu manja, dia akan melakukan sendiri apa yang dia bisa. Kecuali itu memang sulit, baru dia akan meminta tolong kepada orang sekitarnya, tidak terkecuali aku, ibunya sendiri yang menemaninya selama hampir 24 jam. Seperti sekarang, aku hanya melihatnya yang sedang berusaha memakai baju tidur bergambar teddy bear warna kuning,walaupun awalnya kesulitan memasukan kepalanya ke lubang baju, tapi melihatnya berhasil, membuat senyumku merekah.

''Ayo Mama, kita tunggu Papa pulang''. Tangan mungil Oryza,menarik tanganku untuk keluar dari kamar. Rutinitas yang kami lakukan tiap hari kecuali weekend. Menunggu sang papa di teras rumah.

''Hati - hati Dek.'' Aku sedikit ngeri melihatnya berjalan dengan tergesa - gesa menuruni anak tangga. Kamar kami memang berada di lantai dua,dengan dua kamar di atas dan dua kamar di bawah. Kamar atas adalah kamarku dan suamiku, Mas Arlan. Dan di samping kamar kami adalah kamar Oryza. Dulu, itu bukanlah kamar Oryza tapi ruang kerja Mas Arlan,tapi semenjak Oryza berusia dua tahun, kamar itu disulap menjadi kamar putri kecil kami. Oryza memang sudah tidur sendiri sejak berusia dua tahun, walaupun awalnya tidak tega. Tapi sekarang Oryza sudah terbiasa. Sedangkan kamar bawah di alih fungsikan menjadi ruang kerja Mas Arlan, dan kamar satunya di siapkan untuk kamar tamu.

Aku sedang mengobrol dengan Mbak Rinda, tetangga samping rumahku, ketika melihat mobil SUV warna putih, memasuki pagar rumah kami yang sengaja ku buka untuk Mas Arlan. Oryza yang sedang bermain boneka barbie nya,melompat kegirangan ketika melihat mobil Ayahnya memasuki pekarangan rumah. Mobil berhenti di garasi, di samping motor matic ku.

Aku langsung berpamitan dengan Mbak Rinda,setelah melihat Mas Arlan keluar dari mobilnya. Tanganku terulur untuk mencium punggung tangan Mas Arlan, yang terlihat ogah - ogahan mengulurkan tangannya padaku. Aku hanya tersenyum kecut, hal seperti ini sudah biasa.

***

Suara tawa Mas Arlan terdengar sampai ke ruang makan. Kami baru saja menyelesaikan makan malam dan kedua orang yang paling ku cintai itu sudah lebih dulu meninggalkan ruang makan,duduk santai di ruang keluarga. Mungkin Oryza sedang menceritakan hal yang lucu, sehingga Papa nya sampai tertawa. Mas Arlan jarang tersenyum apa lagi tertawa seperti itu. Dia akan banyak bicara dan tertawa kalau itu bersangkutan dengan anaknya dan juga orang yang dia sayangi. Dan akan memasang wajah ketus dan irit bicara pada orang yang tidak dia sukai, walau sulit ku akui aku termasuk dari orang yang tidak disukainya.

''Lagi ngomongin apa sih, kayanya seru banget.'' Aku ikut duduk di karpet tepat disamping Mas Arlan, wajah Mas Arlan yang tadinya sumringah dalam sekejap berubah masam. Mas Arlan berdiri dan mendudukan pantatnya di sofa ruang keluarga, sehingga sekarang hanya aku dan Oryza yang lesehan di karpet. Aku masih mempertahankan senyumku, walaupun sakit diperlakukan seperti ini.

''Tadi Papa gambar bebek Ma, tapi mukanya malah mirip ikan.'' Suara cekikikan anakku mengalihkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.

''Oh ya, sini Mama liat.'' Ku ambil buku gambar oryza di atas meja,yang memperlihatkan hasil karya sang papa. Tawaku meledak melihat gambar yang ku pegang. Mas Arlan benar benar payah dalam menggambar, walaupun dia sudah berusaha tetap saja gambarnya seperti anak yang baru bisa memegang pena.

''Mas, kamu payah banget loh, ini beneran nggak mirip bebek.'' Aku tertawa geli melihat gambar yang katanya bebek itu, sambil mengarahkan buku gambar ke wajah Mas Arlan. Ku tatap wajah Mas Arlan, yang sama sekali tidak terpengaruh akan ucapanku. Wajahnya tetap datar dan gelengan kecil ia tunjukan.

Mas Arlan beranjak dari duduknya, sambil membungkuk kecil disamping Oryza. ''Belajar sama Mama dulu ya, Papa keluar bentar.''
Keluar bentar yang dikatakan Mas Arlan itu adalah nongkrong di teras samping. Biasanya Mas Arlan akan menghabiskan waktunya di situ sambil menyesap kopi hitam.

''Aku buatin kopi ya Mas.'' Aku baru saja akan beranjak ke dapur, ketika melihat gelengan kepala Mas Arlan.

''Aku bikin sendiri, kamu temenin Oryza aja.'' Ucapan sambil lalu itu membuatku hanya bisa melihat tubuh tinggi tegapnya yang berjalan ke arah dapur.

Entahlah, sampai kapan hubungan kami akan seperti ini. Enam tahun pernikahan bukan waktu yang singkat. Tapi tetap saja tidak ada kemajuan di hubungan kami, aku merasa kami hanya berjalan di tempat. Bukan aku yang tidak ingin berusaha, usahaku sudah banyak selama ini. Tetapi lelaki yang berstatus suamiku itu yang tidak pernah ingin berusaha. Walaupun sekarang di kehidupan kami sudah ada malaikat kecil, tetap saja tidak bisa merubah perasaan Mas Arlan padaku. Dia mencintai darah dagingku tapi tidak dengan diriku.

Bersambung.

Terlalu Dipaksakan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang