Enam

35.8K 3K 25
                                    

Aku menatap pantulan wajahku di kaca spion motor, setelah memastikan air mataku tidak keluar lagi, aku segera melangkah dengan tertatih ke arah pintu rumah. Ku tarik napas pelan, berharap Oryza masih di belakang, sehingga aku bisa langsung ke kamar untuk membersihkan diri.

Membuka pintu rumah dengan perlahan, ternyata harapanku tidak terwujud. Oryza yang sedang bermain boneka di ruang tamu dengan ditemani Mbok Sumi, menatapku dengan tampang polosnya.

''Ya Allah, Mbak Ara kenapa?'' Wajah panik Mbok Sumi mengalihkan perhatianku dari Oryza.

''Jatuh dari motor Mbok, tapi nggak papa kok, cuma luka dikit.'' Sekali lagi aku lirik gadis kecilku,yang terpaku menatap penampilanku. Tidak sampai lima detik boneka yang sedang dimainkannya dilempar kesembarang arah. Langkah mungilnya berlari dan menubruk tubuhku.

''Huaaaa..mama berdarah huaaaa.'' Tangisnya pecah sambil memeluk tubuhku, seharusnya aku tertawa melihat wajahnya yang begitu lucu ketika menangis. Tapi ternyata air mata yang ku pikir tidak akan keluar lagi, mengalir dengan deras membasahi pipiku.

Ingatanku kembali pada apa yang tadi ku lihat, dadaku kembali sesak. Jariku mengepal menahan amarah, hatiku luar biasa sakit. Lututku yang terluka tapi kenapa hatiku yang terasa perih.

Kubawa Oryza untuk duduk di sofa ruang tamu, ku usap wajahnya yang basah. Tanpa peduli wajahku bahkan lebih parah darinya. Oryza menatap lututku yang terluka, tangisnya semakin menjadi bahkan kini tangan mungilnya ikut memegang kedua lututnya. Mungkin ikut merasakan apa yang aku rasakan.

Mbok Sumi berlari ke dapur, mengambil peralatan P3K yang ku simpan di lemari. Berlari tergopoh gopoh membuatku tidak tega merepotkan beliau.

''Terima kasih Mbok.'' Ucapku tulus.

''Iya Mbak, cepat sembuh kalau sakit ndak enak.'' Suara keibuan Mbok Sumi membuatku kembali ingin menangis, astaga kenapa aku jadi cengeng begini.

Aku membersihkan lukaku dengan perlahan, tidak terlalu sakit apa karena sakitnya berpindah ke hatiku. Entahlah, sepertinya itu hanya pikiranku saja. Setelah mengoleskan obat merah ke area lukaku, aku melirik Oryza yang mengintip dari balik tubuhku. Dia takut tapi penasaran dengan apa yang kulakukan.

''Mama mau ke kamar, Sasa ikut?'' Tawarku yang di balas anggukan penuh semangat gadis kecilku ini.

***

''Mama jatuh dari motor, kakinya luka segini.'' Aku terbangun ketika mendengar suara Oryza, sepertinya Mas Arlan sudah pulang dan sekarang Oryza sedang mengadu ke Papanya.

Aku melirik jam di dinding, baru setengah dua siang tapi Mas Arlan sudah berada di rumah. Sekali lagi ingatanku kembali ke kejadian tadi pagi, ku remas pelan dadaku yang kembali sakit. Kamu berusaha mengecohku dengan pulang disiang hari agar terlihat seperti Suami baik Mas. Silahkan lakukan sesukamu.

Langkah mereka yang semakin mendekat, membuatku kembali menutup mata. Kurasakan tangan Mas Arlan yang berusaha melihat lututku yang terluka. Aku yang memakai celana pendek merasakan usapan pelan Mas Arlan di sekitar lukaku. Kalau biasanya aku akan merasa senang disentuh olehnya. Entah kenapa sekarang aku merasa jijik setelah melihat tangannya yang juga menggenggam tangan wanita lain.

Kugeser kakiku agar terlepas dari tangannya. ''Sakit.'' Ucapku lirih tanpa menatap wajah lelaki yang berstatus suamiku itu. Hening, tidak ada pergerakan darinya. Hanya suara gaduh Oryza yang sedang menaiki kasur.

''Dek, ayo ikut Papa..Mama mau istirahat.'' Kudengar Suara Mas Arlan yang mengajak Oryza keluar. Napasku tercekat, aku sakit Mas, fisik dan hatiku luar biasa sakit. Bahkan untuk menanyakan bagaimana keadaanku pun tidak kamu lakukan.

***

Tadi sebelum tidur, aku sudah menitip pesan pada Mbok Sumi untuk membuatkan makan malam. Dan memintanya untuk tidur di rumah, selagi kakiku masih sakit. Beliau memang tidak menginap dan tidak mengerjakan semua pekerjaan rumah. Memasak memang sudah menjadi tugas wajibku yang tidak boleh diganggu gugat. Hanya saja karena kakiku sedang sakit ditambah badanku lumayan hangat, aku meminta bantuannya untuk menyiapkan makan malam untuk Mas Arlan dan Oryza.

Biarpun aku sedang marah dan kecewa dengan Mas Arlan, aku tetap tidak tega melihatnya tidak disiapkan makan malam. Walaupun mungkin dia bisa saja mencari makan dengan perempuan itu lagi.

Aku duduk dari posisi rebahanku, menyandarkan punggung ke headboard kasur, badanku lumayan hangat mungkin efek terjatuh tadi. Ku ambil ponsel yang berada di nakas, membuka aplikasi whatsapp dan mencari kontak sahabatku. Kutekan fitur kamera dan mengambil gambar lututku yang terluka, tidak lupa ku kirimkan emot menangis sebanyak mungkin. Aku terkekeh pelan, disaat orang lain akan mengirim hal seperti ini ke pasangannya aku malah mengirim ini kesahabatku.

Tidak sampai satu menit, pesanku dibaca. Dan stiker orang tertawa terpingkal pingkal kuterima sebagai balasan. Bibirku mengerucut, sahabat macam apa ini yang tertawa diatas penderitaan sahabatnya.

Baru saja aku ingin membalas, ketika panggilan video masuk ke ponselku. Ku tarik napas pelan dan mulai menggeser tombol terima di layar ponsel.

Suara grasak grusuk dan gambar yang berpindah pindah mengawali video panggilan kami, setelahnya ku lihat wajah manis sahabatku ini terpampang jelas dilayar ponselku. ''Hai.'' Sapaku pelan, wajahku kubuat setenang mungkin. Walaupun kulihat wajah curiganya seperti ingin mengintrogasiku.

''Masih kuat?'' Tanyanya telak, aku terdiam cukup lama. kemudian mengangguk ragu setelah itu menggeleng pelan dan kembali mengangguk samar. Aku mengalihkan tatapanku darinya, setelah merasa air mataku kembali ingin keluar.

''Nangis Ra, jangan ditahan.'' Ucapnya tegas, ku gigit pelan bibir bawahku mencoba menahan agar air mataku tidak keluar lagi, tapi ternyata aku memang lebih cengeng dari Oryza. Tangisku pecah bahkan sampai tergugu hebat.

''Nggak usah cerita sekarang, aku tau kamu belum siap. Dua minggu lagi aku ke Yogya ada acara, sekalian  kita ketemuan. Kamu bisa cerita sepuasnya, mau?'' Jelasnya panjang lebar, yang kubalas dengan anggukan.

''Thanks Nda.'' Ucapku pelan, setelahnya Nanda mengakhiri panggilan video.

Nanda adalah orang yang menentang keinginanku untuk menikah dengan Mas Arlan. Dia bilang aku lebih baik mengejar karir sepertinya. Setelah itu baru memikirkan untuk berumah tangga. Tapi waktu itu aku dibutakan oleh rasa suka, sehingga membuatku tidak menggubris ketidaksukaan sahabatku.

Bersambung.

Terlalu Dipaksakan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang