Tujuh

38.7K 3.1K 37
                                    

Kalau saja kandung kemihku tidak meronta untuk dikosongkan, aku tidak akan mau beranjak dari kasur ini. Rasa nyeri dilututku mulai terasa apalagi ketika dipaksa berjalan, padahal aku sudah meminum obat pereda nyeri tapi masih saja sakit. Ditambah lagi lukanya yang berada dilutut, membuat kakiku tidak bisa diluruskan sekarang.

Aku berjalan dengan kaki kiri yang berjinjit. Berjalan pelan menuju kamar mandi. Baru saja berjalan beberapa langkah, pintu kamar yang terbuka menampilkan sosok laki laki dengan wajah andalannya yaitu tanpa senyum. Ia masuk dengan membawa nampan berisi makanan. Aku mendengus kesal, tadi seingatku aku meminta Mbok Sumi yang membawakan makanan tapi kenapa malah lelaki ini yang datang.

Tanpa memperdulikan kehadirannya, aku kembali melanjutkan langkahku. Mas Arlan yang kulihat sekilas, menaruh nampan yang berisi makanan ke meja kecil di ujung kamar kami. Gerakannya yang seperti ingin menghampiriku membuatku was was, aku berjalan secepat yang aku bisa walaupun gerakanku tidak berarti sama sekali.

Tubuhnya yang sekarang berada dibelakangku, membuatku ingin mengumpat. Jujur saja, sekarang aku tidak ingin diperhatikan olehnya. Aku bahkan menepis tangannya kasar, ketika kurasakan tangannya yang ingin memegang pinggangku. Wajahnya yang terkejut sengaja tidak aku hiraukan, jangankan dia, aku pun sebenarnya terkejut dengan tingkahku sendiri. Selama ini aku tidak pernah bersikap seperti itu terhadapnya.

Hanya saja mengingat tangan itu telah memegang tangan wanita lain,membuatku sama sekali tidak ingin disentuh olehnya. Jangan salahkan aku, aku sama seperti wanita lainnya yang akan ingat sesuatu yang membuat cemburu dan sakit hati. Bahkan aku yakin, ketika nanti aku menua dan pikun, aku pasti akan mengingat dengan jelas adegan tangannya yang menerima uluran wanita itu.

''Bisa sendiri?''

Aku tetap berjalan tanpa menjawab pertanyaannya.

''Bisa buka celana?'' Langkahku terhenti, pertanyaan macam apa itu. Dia pikir aku Oryza yang kadang malas membuka celananya sendiri. Ku tatap wajahnya dengan sinis, lagi lagi tanpa menjawab pertanyaannya.

Gerakanku yang ingin menutup pintu kamar mandi, ditahan dengan tangannya. Kalau saja tidak memikirkan sesuatu dibawah perutku tidak mendesak untuk dikeluarkan, aku mungkin akan mengamuk. Dan kini tanpa memperdulikannya yang melihatku, aku dengan segera menuntaskan urusanku.

***

Aku merebahkan tubuhku dengan segera, setelah makan dan kembali ke kamar mandi untuk gosok gigi.
Mas Arlan sendiri, kembali ke dapur untuk mengantarkan nampan yang isinya sudah habis kumakan.

Kutatap nanar langit kamar dengan lampu yang menghiasinya. Pikiranku kacau memikirkan nasib pernikahan kami. Dulu saja sudah retak apalagi sekarang, mungkin sudah hancur tak berbentuk.

Marah, apa sebelumnya aku pernah marah dengan Mas Arlan? tentu saja jawabannya pernah. Tapi aku marah hanya sebentar, aku marah hanya karena sikap tidak pedulinya padaku. Selebihnya aku akan kembali menyukainya dan kami akan kembali baik menurut versiku.

Tapi sekarang, melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang dia lakukan, membuatku merasa sudah tidak mempunyai harapan lagi. Apa sosok wanita itu yang membuatnya selama ini dingin padaku.

Aku bisa menyebut ini perselingkuhan kan? sepertinya iya. Sial, menyedihkan sekali nasibmu Ayara, sudah tidak dicintai sekarang malah diselingkuhi.

Arghhhhh...kutarik pelan rambutku, merasakan sakit yang luar biasa menyerang kepala.

Suara ponselku yang berdering, menghentikan kegiatanku merenungi nasib. Kuambil ponsel dari atas nakas dan melihat nama pemanggil yang tertera di ponselku.

Ibu.

Ibu menelponku disaat kondisiku seperti ini. Aku berdehem pelan, menetralkan suaraku yang sedikit serak. Jangan sampai Ibu curiga kalau anaknya sedang bermasalah.

''Assalamualaikum Bu'' ucapku seriang mungkin.

''Waalaikumsalam nduk, piye kabare, sehat toh?''

Kugigit pelan bibir bawahku, insting orangtua itu kuat. Mungkin beliau merasakan kalau anaknya sedang tidak baik baik saja.

''Sehat Bu...Ara, Mas Arlan sama Oryza, alhamdulliah sehat, Ibu gimana, sehat kan?''

''Ibu sama Bapak sehat, tapi kok suaramu kayak bindeng toh nduk?''

Aku memutar bola mataku mencoba mencari alasan, tidak ingin berbohong tapi kalau aku jujur nanti Ibu dan Bapak akan kepikiran. ''Oh ini lagi flu aja Bu, tapi udah minum obat palingan besok sudah sembuh kok.'' Maaf Bu, anakmu sudah mulai berbohong.

''Oh pantesan, Ibu kepikiran kamu terus nduk, ternyata lagi flu...yo wes cepat turu biar sesuk awake sehat, salam aja buat Mas Arlan sama Oryza.'' Panggilan terputus dengan aku yang masih termenung.

Kutaruh kembali ponsel diatas nakas dan mulai memposisikan diriku senyaman mungkin, lututku yang terluka membuat posisi tidurku tidak leluasa.

Kulihat Mas Arlan yang sudah kembali dari bawah, ikut menyusulku dikasur. Aku mulai menutup mataku walaupun kantuk belum menyerang. Hening yang kupikir akan terus menemani sampai pagi ternyata tidak ingin bekerjasama. Ketika suara Mas Arlan terdengar, membuat napasku yang tadi mulai teratur kembali terasa sesak.

''Maaf tadi aku nggak angkat telepon dari kamu, ada kerjaan yang sama sekali nggak bisa aku tinggal.'' Ucapnya dengan suara yang bahkan terdengar tanpa beban. Kuremas selimut yang menutupi sebagian tubuhku. Rasanya aku ingin berteriak didepan wajahnya. Ingin mengatakan kalau aku melihat apa saja pekerjaan yang katanya tidak bisa ditinggal itu.

Dengan amarah yang berusaha kuredakan, aku membalikkan tubuhku. Tidur membelakanginya, hal yang kulakukan pertama kali semenjak kami menikah.

Bersambung.

Untuk lanjutannya bisa dibaca di karyakarsa ya.

Terlalu Dipaksakan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang