Tiga

38.4K 2.6K 35
                                    

Aku menghela napas untuk kesekian kalinya,mendorong sendiri sofa di ruang tamu, ternyata lumayan berat. Kebiasaanku yang sulit hilang dari dulu adalah aku orang yang mudah bosan melihat ruangan yang itu itu saja. Sehingga beberapa bulan sekali, aku akan merubah tata ruang di rumah ini. Baik itu ruang tamu, ruang keluarga, kamar, bahkan dapur pun menjadi ruangan yang sering aku renovasi sendiri. Hanya satu ruangan yang belum dan mungkin tidak akan pernah aku otak atik yaitu ruang kerja Mas Arlan. Dia tidak suka ruangannya tersentuh olehku.

Aku melirik jam di dinding, tiga jam lagi Mas Arlan akan pulang. Aku sudah menyiapkan bahan untuk menu makan malam kami. Membuat udang saus padang, bakwan jagung dan capcay adalah menu yang akan aku masak sore ini. Mas Arlan tidak pernah makan siang di rumah, walaupun aku tau dia bisa saja pulang untuk makan siang.

Mas Arlan sendiri bukanlah pekerja kantoran, ia memiliki beberapa bengkel mobil dan motor di kota ini dan beberapa cabang di kota lainnya. Dan yang juga aku ketahui Mas Arlan juga memiliki beberapa ruko dan tanah yang disewakan.

Langkahku menuju dapur terhenti, ketika mendengar suara pagar rumah yang dibuka. Tidak mungkin tamu, karena biasanya orang yang berkunjung akan lebih dulu memencet bel yang ada di tembok pagar. Aku segera melangkahkan kakiku ke pintu rumah, berjaga jaga kalau saja ada yang ingin berbuat jahat di rumah kami. Baru saja aku mengintip dari jendela, ketika melihat sosok lelaki yang baru saja menaiki tangga. Tumben, baru saja aku memikirkan kalau dia sangat jarang pulang di siang hari, sekarang sosoknya muncul.

Ku buka pintu rumah, menatap wajah lelaki tanpa senyum yang sialnya masih saja membuatku terpesona, di siang hari yang agak mendung wajahnya masih terlihat segar, ah sialnya kenapa aku bisa jatuh cinta dengan lelaki tanpa hati ini.

''Tumben pulang Mas?'' ku ulurkan tangan dan mengecup punggung tangannya.

Wajahnya terlihat bingung mendengar pertanyaanku. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku barusan. Alisnya bahkan naik sebelah seolah pertanyaanku terlalu sulit untuk di jawab.

''Lapar.''

''Haahh''

''Tadi makan dikit, lapar.''

Aku menyipitkan mataku yang memang tidak besar ini,astaga kenapa dia menggemaskan ketika sedang lapar. Aku baru saja menutup pintu rumah, ketika teringat belum masak sama sekali. Salahnya juga, biasanya tidak pernah pulang di siang hari.

''Mas, aku belum masak.'' Ku lihat keningnya berkerut, jangan sampai dia memarahiku hanya karena belum menyiapkan makanan.

''Yang tadi pagi masih ada?''

''Mmm...masih sih,tapi tinggal dikit.''

''Itu aja.''ucapnya sambil lalu, ku lihat Mas Arlan membaringkan tubuh di sofa yang baru saja aku pindahkan.

Aku menghela nafas pendek. Kembali berjalan ke arah dapur, menghangatkan sayur sup yang sisa sedikit di microwave. Merasa sedikit bersalah karena membiarkan suamiku memakan makanan yang mungkin hanya membuatnya kenyang beberapa menit. Sambil menunggu sayur sup, aku menggoreng dua butir telur. Lumayan, untuk pengganjal lapar dan cepat disajikan.

***

Aku baru saja membersihkan meja makan. Ketika merasakan tatapan intens dari Mas Arlan. Tatapan yang sebenarnya sudah aku hapal di luar kepala, ketika dia menginginkan sesuatu. Aku pura pura tidak terpengaruh, walaupun sebenarnya aku sudah tidak konsen.

''Oryza masih tidur?'' Aku hanya membalas dengan anggukan.

''Masih lama?''

''Biasanya satu jam lagi baru bangun.'' Ku lirik Mas Arlan, yang berdiri dari duduknya. Berjalan ke arah tangga menuju lantai atas sambil membuka kancing bajunya.

''Aku tunggu di kamar.'' Aku membelalakan mataku. Siang hari walaupun mendung bahkan sepertinya akan turun hujan, dan kami akan melakukan olahraga menyenangkan. Ya walaupun sebelumnya kami pernah melakukan beberapa kali di siang hari tapi tetap saja akan canggung kalau dilakukan.

Lagi, aku menghembuskan nafas. Ini salah satu hal yang tidak ku sukai dari diriku sendiri, mudah luluh ketika mendapatkan perilaku hangat dari Mas Arlan.
Mas Arlan itu kadang bersikap acuh tak acuh padaku. Ada kalanya dia bersikap ramah bahkan berbicara walaupun tidak banyak, tapi tak jarang ia seperti orang yang tidak mengenaliku.

Ku tutup pintu kamar dan tidak lupa menguncinya, berjaga jaga seandainya Oryza bangun dan langsung masuk ke kamar memergoki pemandangan tidak senonoh orangtuanya yang sedang berolahraga.

Ku tatap wajah suamiku yang juga tidak melepaskan pandangannya dariku, tubuh atasnya yang sudah tidak ditutupi kemeja kerja sedang bersandar di headboard. Seolah mengatakan agar aku segera mendekat. Aku menghela nafas sekali lagi dan berjalan dengan langkah pelan ke arahnya.

Tangannya yang terulur seolah menungguku tidak sabaran. Tubuhku di tarik pelan untuk segera duduk di pangkuannya, ku rasakan sesuatu yang menonjol menekan keras milikku. Tangan kirinya membelai pelan sisi wajahku. Menarik pelan ke arah wajahnya, bibirnya yang selalu membuatku candu melahap dengan pelan bibir penuhku.

Baru saja aku merasakan bibir kami bertemu. Lidah hangatnya sudah memaksa untuk masuk mengabsen gigiku yang rapi. Jangan harap Mas Arlan akan bermain lembut, ia type yang dominan. Tapi entah mengapa aku menyukai setiap sentuhannya di kulitku.

Aku menepuk pelan punggung Mas Arlan ketika merasakan bibirku di lahap penuh, bahkan aku pikir Mas Arlan akan memakan bibirku. Mas Arlan yang tau aku akan kehabisan nafas,melepaskan tautan bibir kami. Walaupun jarak wajahku dengannya tidak berubah, bahkan deru nafas penuh nafsunya terasa hangat menerpa wajahku. Kecupan bertubi tubi aku rasakan di bibirku.

Mataku yang awalnya tertutup berlahan terbuka, kurasakan baju kaos yang kugunakan di tarik ke atas melalui kepala. Napasku memburu ketika merasakan kehangatan yang diberikannya untuk tubuhku. Siang ini, aku kembali mendesah menyebut namanya.

Bersambung.








Terlalu Dipaksakan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang