Pagi ini, ku awali dengan overthinking tentang Mas Arlan. Setelah tadi mendapatinya hanya sarapan sedikit, membuatku kembali teringat tentang ajakan sarapan yang tidak sengaja kubaca di ponselnya.
Ditambah lagi rengekan Oryza yang ingin memakan buah naga, membuat kepalaku sedikit sakit. Bukannya aku tidak ingin memberinya buah, hanya saja buah yang diingininya tidak ada di dapur.
''Makan melon dulu ya dek, buah naganya habis.'' Rayuku, suaraku bahkan lebih mirip sales yang meyakinkan pembelinya untuk membeli produk yang di tawarkan.
Gelengan Oryza membuatku menghela napas. Anak ini memang sedikit keras kepala, sama seperti papanya yang keras kepala tidak ingin mencintaiku. Astaga pikiran macam apa ini.
''Mau buah naga, Mama.'' Elusan di perut ditambah tampang pura pura kelaparan Oryza,membuatku kasian. Oryza memang penyuka buah, hampir semua jenis buah akan lahap dimakan olehnya.
Salahku juga, padahal kemarin aku sudah melihat stock buah sudah habis dan berencana membelinya. Tapi karena ajakan Mas Arlan untuk berolahraga membuatku akhirnya lupa.
''Diperempatan gang depan, biasanya ada yang jualan buah Mbak. Tapi ya ndak tau lengkap apa ora.'' Suara Mbok Sumi, wanita paruh baya yang ikut membantu bersih bersih rumah membuatku menoleh.
Aku kembali menatap putri kecilku ini, wajahnya terlihat menggemaskan yang membuatku langsung memberikan ciuman dipipi kirinya. ''Oke, Sasa tunggu dirumah sama Mbok Sumi, Mama keluar bentar beliin buah naga nya.'' Aku tersenyum senang ketika teriakan heboh Sasa menggema di ruangan ini membuat pikiranku yang tadi sedikit kalut, sekarang membaik.
''Mbok, titip Sasa bentar ya.'' Kutatap wajah Mbok Sumi untuk meminta ijin, setelah mendapatkan anggukan dari beliau, aku segera menuju lantai atas untuk mengambil hoodie dan mengganti celana pendekku dengan kulot berwarna cokelat, tidak lupa ku ambil tas selempang kecil mengisinya dengan dompet dan ponselku.
Aku kembali turun ke lantai bawah tetapi tidak mendapati Oryza dan Mbok Sumi, sepertinya mereka ke taman belakang. Tidak mau ambil pusing, aku segera keluar rumah, menutup pintu dan segera menuju garasi. Ku panasi sebentar motor matic warna hitam, yang sudah menemaniku dari jaman kuliah. Motor yang membuat Mas Arlan kesal, karena mendengar rengekanku yang meminta agar motorku tetap ikut bersamaku saat kami menempati rumah ini.
Kulirik sebentar mobil SUV mini warna putih pemberian Mas Arlan dua tahun silam. Mobil yang sangat jarang ku gunakan kecuali untuk berbelanja bulanan dan mengajak Oryza jalan jalan ke mall. Aku lebih suka menggunakan motor daripada mobil, menurutku motor lebih efisien dan gesit untuk menyalip di saat macet.
Aku mengendarai motor kesayanganku dengan laju sedang, menyalip beberapa kendaraan yang berpotensi tidak membahayakanku. Senyumku terbit ketika melihat toko buah yang dikatakan Mbok Sumi semakin dekat.
Menyalakan sein kiri dan melihat keadaan dibelakangku melalui spion, setelah melihat keadaan aman aku mulai meminggirkan motorku. Ketika tiba tiba saja bunyi klakson yang terdengar nyaring persis berada di belakang motorku. Aku yang kaget dan tidak menyangka, hilang keseimbangan dan membuat motorku oleng ke kiri. Suara gesekan motor dan aspal terdengar nyaring ditelingaku, dengan setengah badanku yang tertimpa motor. Untungnya aku menggunakan sarung tangan dan helm sehingga aman dari gesekan aspal. Hanya saja celana kulot yang ku gunakan tidak kuat menahan gesekan aspal, ku rasakan perih di lutut kiri dengan sobekan yang lumayan besar dari celanaku.
Aku mendengar suara panik orang orang disekitarku dan beberapa orang yang mulai membantuku setelah memastikan luka ku parah atau tidak. Sebagian lagi ku dengar memaki mobil yang langsung kabur setelah kejadian. Astaga sialnya diriku.
***
Tanganku yang memegang gelas berisi teh hangat, masih bergetar walaupun sudah tidak sehebat tadi. Ku minum dengan pelan teh yang masih tersisa banyak di gelas. Aku di papah ke warung makan yang berada dekat dengan tempat kejadian. Diberikan teh hangat dan bahkan di tawari untuk berobat ke klinik terdekat. Yang dengan halus ku tolak, aku ingin cepat pulang dan membersihkan lukaku di rumah.
Jangan tanya penampilanku, dengan wajah pucat dan celana sobek membuatku seperti gembel. Untungnya motorku masih bisa hidup hanya tebeng dan kacanya yang lumayan lecet.
Baru saja aku ingin berpamitan, ketika melihat mobil yang ku hapal luar kepala melewati tempat ku sekarang. Senyumku merekah, dengan segera ku ambil ponsel dari tas selempangku, membuka aplikasi whatsApp ingin menghubungi nomor Mas Arlan. Mungkin saja dia akan kasihan melihat istrinya yang tertimpa musibah, aku pun ingin mengadu kalau aku terjatuh dari motor.
Tanganku yang ingin mendial nomor Mas Arlan terhenti, ketika kulihat mobil yang dikendarainya berhenti di depan rumah makan yang lumayan besar. Jarak yang tidak terlalu jauh, membuatku dengan jelas bisa melihat mobilnya. Sosok tingginya keluar dari mobil dengan tangan yang menggenggam ponsel. Tanpa pikir panjang ku dial nomor Mas Arlan, ingin memberitahunya kalau aku juga berada disini. Suara saluran yang tersambung membuatku sedikit gugup. Kulihat Mas Arlan melihat ponselnya yang menyala menatap sebentar dan menggeser layar ponsel, jantungku mencelos ketika melihatnya menolak panggilanku bahkan ponselnya sekarang dimasukan ke kantong celana jeans yang digunakannya.
Aku menatap nanar sosok yang sepertinya sedang menunggu seseorang. Sampai ku lihat pintu disamping kemudi terbuka, menampilkan seorang wanita yang keluar dengan anggunnya dari mobil suamiku. Jantungku berdetak dengan cepat, bahkan napasku memburu tak beraturan ketika melihat wanita itu berjalan dengan riangnya kearah Mas Arlan. Tubuhku melemah ketika melihat bagaimana Mas Arlan menerima uluran tangan dari wanita itu.
Aku menutup mulutku dengan telapak tangan, mencoba meredakan suara yang ingin keluar dari mulutku. Pandanganku bahkan mengabur tertutupi airmata yang berlomba untuk keluar. Badanku kembali bergetar, merasa syok dengan apa yang baru saja aku lihat.
''Ya Allah gusti, Mbak e nangis piye iki!!'' Suara panik Ibu paruh baya yang ku yakini pemilik warung, malah membuat tangisku semakin menjadi. Untungnya warung ini masih sepi, hanya beberapa pegawai yang melihat tampang menyedihkan diriku.
Kugelengkan kepalaku, memberitahu mereka bahwa aku tidak apa apa. Setelah mengucapkan terimakasih dan perpamitan, aku bergegas keluar dengan lutut yang mulai terasa perih.
Aku bahkan kesulitan memasukan kunci ke lubangnya,karena getaran ditanganku tidak mau berhenti. Menarik napas pelan dan mencoba menenangkan diriku, akhirnya usahaku berhasil. Ku lajukan motor dengan pelan, dengan sebelah tangan yang menghapus air mataku. Sial kenapa malah semakin banyak yang berjatuhan. Untungnya kaca helm yang berwarna gelap membuatku tidak terlalu kuatir akan dilihat orang,walaupun ada yang melihat aku sudah tidak peduli.
Sakit ini benar benar sakit.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlalu Dipaksakan (END)
RomanceAyara percaya, dengan memiliki buah hati dari orang yang dia cintai maka cintanya akan terbalas. Tapi ternyata yang ia harapkan tidak pernah terwujud. Semakin hari, bukan perasaan cinta yang ia dapatkan, melainkan tingkah luar biasa acuh tak acuh da...