PROLOG

221 13 3
                                    

Sang nabastala hari itu seakan tak begitu bersahabat. Gemuruhnya terdengar tanpa henti. Berhiaskan awan hitam berpadu dengan kilatan petir yang terlihat melambai-lambai mengelilingi seluruh negeri.
Langkah wanita itu tak akan gontai meski cuaca seolah menyuruhnya untuk mundur. Jembatan Holdburg terus ia pijak, membawa langkahnya menuju sebuah bangunan megah nan mewah di depan sana.

Tatapannya turun sejenak, memandang sosok makhluk kecil yang sedari tadi ia genggam begitu erat. Senyumnya terulas lembut menyatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Ibu..." Raut ragu terpampang jelas di wajah tampan seorang anak laki-laki berusia 6 tahun itu. Sosok wanita yang ia sebut dengan panggilan ibu pun hanya menganggukkan kepala.

Langkahnya semakin mantap hingga dirinya beserta putranya berakhir berdiri tepat di depan pagar emas berornamenkan batu permata merah dibeberapa sisinya. Sempat mendapat larangan dari para penjaga dengan menyilangkan tombak milik mereka tepat di depan sang wanita. Sampai tibalah saat mereka bersitatap dengan pemilik mata abu cerah nan bening itu, tubuh para penjaga sontak menegang. Pikirannya berkecamuk sesaat, lalu tanpa basa-basi lagi pintu gerbang utama segera terbuka lebar.

Kini tungkainya memasuki istana dengan mudah. Saat hendak melewati lorong dengan pilar-pilar putih besar yang menjulang tinggi, kedua manusia bertudung putih itu—Sang wanita serta putranya— dikagetkan oleh suara menggelegar dari sebuah nampan yang terjatuh. Pelakunya adalah seorang wanita paruh baya yang apabila dilihat dari pakaiannya dapat langsung ditebak bahwa dirinya merupakan seorang dayang.

"YANG MULIA RATU?!!" Serunya terkejut.

Akibat ulahnya tersebut beberapa orang yang berada di dekat lorong segera membuat barisan rapih pada bagian kanan dan kiri sang wanita, menyisakan celah di tengah sebagai jalan. Mereka lantas berseru serempak sembari membungkuk setengah badan.

"YANG MULIA RATU GRACE TELAH KEMBALI!!!"

"HORMAT KAMI YANG MULIA RATU!!!"

Anak laki-laki dengan jemari yang senantiasa menggenggam tangan ibunya itu pun tampak membelalakkan mata. Ia tidak biasa dengan pemandangan ini semua, sedang sang ibu yang dipanggil dengan gelar "Yang Mulia Ratu" tersebut justru terlihat menahan haru.

Air matanya menggenang, semakin banyak manakala sesosok raga yang amat sangat ia kenal serta rindukan terlihat berjalan cepat menuju dirinya. Tangisnya pecah seketika kala sosok itu mendekapnya begitu erat.

"Astaga Grace, kemana saja dirimu? Aku rindu. Sangat... Sangat merindukanmu." Ucapnya bergetar.

"Aku juga, Yang Mulia Raja." Jawab Sang Ratu, membalas dekapan tersebut tak kalah eratnya.

Lama keduanya berpelukan, seolah melupakan sejenak kehadiran anak laki-laki di samping mereka. Ia hendak memanggil ibunya kembali, namun harus terhenti saat kesempatannya diserobot lebih dulu oleh orang lain.

"Ibu?"

Anak laki-laki berpakaian navi berpadu dengan celana putih panjang tiba-tiba saja muncul dari balik tubuh sang raja. Grace—nama dari sang ratu-melepas pelukannya dari sang suami. Lantas beralih menyejajarkan tingginya dengan tinggi anak laki-laki tersebut.

"Jun? Putraku?" Ucap Ratu Grace sembari tersenyum sendu. Hal itu pun tentu menjadikan anak laki-lakinya yang bertudung putih terbingung di tempat. Pikirnya, ibu memiliki putra selain aku? Apa itu artinya dia adalah kakak ku?

Setelahnya, Jun mengangguk. Membalas ucapan sang ratu,

"Ibuu... Ada dimana ibu selama ini?Enam tahun sudah mengapa ibu baru datang sekarang? Aku merindukanmu, ibu." Ratu Grace hanya tersenyum lembut, lantas mengelus surai hitam Jun dengan air mata yang masih berderai.

Pemandangan itu tak luput dari para dayang, pengawal, juga ksatria yang masih setia membentuk barisan.
Hingga netra Jun menangkap sosok anak bertudung putih itu, ia melepas pelukan sang ibu dan bertanya,

"Ibu, siapa dia?" Jari Jun menunjuk tepat ke arahnya.

"Dia Ethan, Jun, adikmu."

Saut Ratu Grace membuat semua orang terkejut termasuk sang raja sendiri.

"Dia putraku?! Putraku yang kau bawa di dalam kandungan pada enam tahun silam untuk menyelamatkan diri dari para pemberontak itu?"

"Benar, Yang Mulia."

"Astaga anakku yang hebat." Kini giliran sang raja yang berlutut di depan Ethan. Mengambil kedua tangan kecilnya lalu dicium secara bergantian.

"Yang Mulia adalah ayahku?" Tanya Ethan dengan tatapan polosnya, sang ibu mengangguk sebagai balasan.

"Kalau begitu, A-apa Ethan.... boleh memanggil Yang Mulia dengan sebutan ayah?" Ada keraguan pada nada bicara bocah 6 tahun itu.

"Katakanlah!"

"A-ayah?" Semua tersenyum mendengar suara lucu Ethan.

"Lalu.... dia?" Ethan beralih menunjuk tepat pada Jun.

Dengan berani dan dengan wajahnya yang berubah datar, Jun mendekat. Memandang lurus mata rusa milik Ethan.

"Jun. Jun Aldrich de Hellaconia. Aku kakakmu. Tidak sepatutnya kau menunjukku dengan jari telunjuk seperti itu. Tidak sopan!"

"Jun..." Tegur halus sang raja.

Ethan mengangguk lugu, "Aku Ethan, Ethan da Healer. Kakak, senang bertemu denganmu."

Tangan Ethan terulur yang kemudian dijabat oleh Jun setelah ia menarik salah satu sudut bibirnya membentuk simpul senyuman.

"Hm" Gumam Jun sebagai balasan.

Untuk saat ini mungkin tangan mereka masih dapat saling bertautan, entahlah suatu masa nanti. Akankah uluran tangan itu akan menjadi titik persaudaraan yang mengikat lekat atau justru menjadi sesuatu hal besar yang tidak akan pernah terpikirkan di masa mendatang?

Di lain sisi, seekor burung gagak bermata besar mulai kembali mengepakkan sayapnya. Pergi meninggalkan plafon kayu tersembunyi—tempat pijakannya sedari tadi—, bersuara nyaring di antara kumpulan awan gelap, bersiap mengabarkan suatu hal kepada dia yang telah menunggunya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tale of Heroes: A Kingdom [ENHYPEN X TREASURE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang