Cerahnya siang telah berganti menjadi malam dengan penuh taburan gemintang. Bulan sabit pun tak mau kalah di sudut utara langit Grazelweith. Sinarnya memancar begitu indah seolah tengah beradu penerangan dengan sang bintang. Sejak pertikaian itu, para pangeran-selain yang sudah akrab-tampak begitu enggan berurusan lebih dengan Hellaconia.
Jujur, Ethan resah. Sebab ia tak kunjung mempunyai teman satu pun selama di sini. Yah meski ada kedua saudaranya yang bersedia mengajak dirinya mengobrol barang sebentar, tapi tetap saja. Jauh di dalam lubuk hati Ethan, ia sangat membutuhkan seorang teman.
Terhitung 6 hari sudah pangeran Jun, Jaden, dan Ethan berada di Grazelweith. Itu artinya sudah hampir seminggu mereka di sini, maka esok pun seharusnya menjadi hari kepulangan mereka ke Hellaconia. Namun saat ini, alih-alih beristirahat, Ethan justru tengah menjejakan kaki menyusuri pasar malam yang rutin diadakan Grezalsent.
Lampu-lampu berbentuk bulat warna-warni dengan lubang di tengahnya tampak berjejer rapi di depan bangunan toko, diletakkannya pada tiang penyangga setinggi 5 meter, menyinari setiap spanduk yang telah terpasang sebagai lambang ikonik untuk kegiatan tersebut.
Ia berjalan seorang diri, memakai jubah berwarna coklat tua yang ia temukan disebuah kotak usang dekat kandang kuda. Kebetulan pintu belakang istana Grazelweith juga tengah sepi tanpa penjaga. Maka dengan cepat, Ethan bergegas keluar diam-diam.
Perbuatan ini tidak dibenarkan sebetulnya. Ia bisa saja di cap sebagai pangeran nakal jika ketahuan. Sebagai tamu, keluar dari istana tanpa izin dari sang ratu sangatlah tidak etis menurut etika, tapi biarkanlah. Ia hanya ingin keluar sebentar, tepat pukul delapan nanti ia berjanji pada dirinya sendiri untuk kembali ke istana lagi sebelum penjaga mengunci pintu. Hatinya sedang gundah gulana. Dia membutuhkan hal menarik sebagai hiburan saat ini.
"Ahh tiba-tiba aku sangat merindukan ibu. Tidak bisakah dewa memberikan keajaiban kepadaku untuk terbang menuju Hellaconia sekarang juga? Aku kesepian." Gumamnya sambil menendang kerikil-kerikil kecil.
Ethan duduk bersila di pinggir danau ditemani perahu-perahu alternatif wisata Grezalsent yang terjejer ditepiannya. Bayangan wajah sang ibu tengah berputar dipikiran sang pangeran tengah Hellaconia itu sekarang. Bagaimana beliau tersenyum, bagaimana beliau akan mengelus pucuk kepala Ethan, dan bagaimana beliau akan mengajak Ethan bermain ketika bosan.
Di dunia ini, hanya Ratu Grace satu-satunya sahabat sejati Ethan. Baik saat berada di desa dulu maupun setelah berada di istana, ia selalu terbiasa oleh kehadiran sang ibu. Bahkan untuk bisa dekat dengan Jun pun Ethan perlu bantuan Ratu Grace terlebih dahulu. Ia jadi teringat akan satu momen, dimana momen tersebut adalah kali pertama Ethan bercengkrama akrab dengan sang kakak kandung.
Menara sebelah barat Kerajaan Hellaconia memiliki sebuah taman khusus yang disediakan untuk Sang Ratu. Taman hijau berbentuk lingkaran dengan rerumputan sebagai alasnya, begitu cocok digunakan untuk acara piknik keluarga. Itulah yang sebenarnya ingin mereka lakukan di siang hari ini.
Namun Jun bilang dia kurang suka piknik, sehingga Ratu Grace memerintahkan beberapa pelayannya untuk mengganti karpet di tengah taman dengan sebuah meja serta kursi, lalu merubah acara piknik tersebut menjadi sebuah perjamuan teh kecil-kecilan.
Dengan gaun pastel merah muda serta tiara berhiaskan berlian putih di atas kepala, sang ratu tampak begitu anggun menyeruput secangkir teh madunya. Pemandangan itu tak luput dari mata Ethan yang tengah menguyah sebuah biskuit coklat buatan kepala pelayan istana. Senyumnya mengembang sempurna, menjadikan wajah kecilnya tampak semakin tampan berlipat ganda.
"Ibu, ibu cantik sekali." Puji Ethan berseri.
"Lihat! Kupu-kupu itu saja memilih terbang kembali, sepertinya ia merasa tersaingi oleh kecantikan ibu." Ethan kembali melanjutkan kalimatnya saat seekor kupu-kupu bersayap biru membatalkan hinggapannya pada hidung Ratu Grace.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tale of Heroes: A Kingdom [ENHYPEN X TREASURE]
Fantasy6 tahun lamanya, Ethan tidak pernah sedikitpun merasakan bagaimana hidup dalam lingkup kerajaan. Namun kini, hidupnya berubah, dipenuhi oleh tata aturan yang mengikat lekat dalam bersikap maupun dalam untaian kalimat. Bersama sang ibunda, tanah Hell...