Kelly Gibson
.
.
Malam itu terasa sangat berbeda.
Warna gelap langit tak sepekat biasanya. Hawa musim panas kembali terasa di sekitarku, lebih tepatnya di tempat peristirahatan yang masih kusinggahi bersama Tom. Cahaya lampu-lampu darurat serta api unggun semakin menambah cahaya di sana, membuatku termenung memandanginya satu persatu.
Di setiap sumber cahaya itu pasti dikelilingi orang. Mereka mencari kehangatan yang akan sulit ditemukan di masa yang seperti sekarang. Masa yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
"Jangan melamun begitu."
Suara laki-laki menegurku dan membuatku memalingkan wajah ke belakang. Rupanya Byron. "Kau sudah makan malam kan?" tambah Byron.
Aku mengangguk. "Sudah, kau?"
"Sudah," jawab Byron. "Bagaimana keadaan ayahmu?"
"Aku belum mengecek lagi, tapi kurasa Tom bisa menanganinya." Aku kembali memandangi sinar-sinar yang tersebar di tempat istirahat itu dan memperhatikan setiap orang yang ada di dekatnya. Di saat yang sama aku merasa sedih. Melihat setiap momen hangat seperti itu, aku malah semakin takut. Takut karena momen tersebut bisa cepat berganti dan berubah menjadi mimpi buruk, mengingat banyaknya Corpse dan mereka bisa datang kapan saja.
Byron ikut berdiri di sampingku, bersandar di pintu mobil. "Sesekali aku berpikir bagaimana keadaannya bila tidak ada Corpse sekarang."
Aku melirik ke arah Byron dan menuntut maksud dari ucapannya.
"Lihatlah ke sana, banyak orang yang mendadak jadi peduli dengan keluarga mereka. Padahal sebenarnya mereka belum tentu sedekat ini satu sama lain. Ya kan?" Byron menyilangkan kedua lengannya di dada lalu ikut memandang ke arah keramaian yang sejak tadi kulihat. "Terkadang aku berpikir keadaan seperti ini ada baiknya juga."
"Kenapa kau berpikiran seperti itu? Ini musibah, tidak ada musibah yang memberi kebaikan." Alisku bertautan, tidak setuju dengan jalan pikiran Byron. Bagaimana bisa ia malah tersenyum di saat yang seperti ini? Seharusnya ia merasa iba melihat banyak keluarga yang kehilangan sanak saudaranya akibat Corpse.
Byron mendesah. "Manusia itu terkadang kurang rasa bersyukur. Mungkin ini jalan yang benar untuk menyadarkan mereka. Mereka yang lupa dengan apa yang sudah mereka punya. Keluarga, misalnya. Kalau sudah ada bencana seperti ini kan mereka jadi tahu seberapa berharganya keluarga mereka."
Aku diam. Dalam hati aku tahu sebagian ucapan laki-laki berambut gelap itu benar. Ada yang perlu disyukuri dari peristiwa besar ini. Tapi aku penasaran apa yang mendasarinya berkata demikian. Namun, sebelum aku bisa menanyakannya, Byron lebih dulu bicara.
"Kudengar tadi kalian tidak jadi ke rumah Luke?"
Tubuhku reflek mengarah ke Byron mendengar nama Luke disebut. "Iya, kami harus membawa ayahku ke sini dulu agar bisa segera diobati karena keadaannya sudah gawat." Aku menunduk mengingat perkataan Luke tadi sore, rasa bersalah memenuhi kepalaku.
"Pantas saja." Byron memindahkan tangannya ke dalam saku celana lalu menegakkan tubuhnya.
"Pantas saja kenapa?"
"Tadi aku dengar Luke meminta maaf pada bibi Ellie soal pamannya tapi aku tidak tahu sebabnya," jawab Byron. "Kelihatannya besok ia akan berangkat lagi, setelah menguburkan ibu Ollie."
"Kau tahu di mana Luke sekarang?" Rasa bersalah ini semakin bertambah setelah mendengar kalimat Byron. Pasti ia meminta maaf karena belum bisa memindahkan pamannya ke tempat yang lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
outbreak (l.h.)
Fanfictionluke hemmings and kelly gibson are now living in the very different world. together they try to stay safe, to stay survive, and to stay alive. but will they? will they be the best team in fighting a viral outbreak? (written in Bahasa Indonesia)