(2) hospital

231 25 6
                                    

Luke Hemmings

.

.

Angin yang berhembus menggelitik kulitku. Ini memang musim panas, tapi anehnya angin begitu besar. Sayangnya, angin itu bersuhu panas, sepanas matahari yang sekarang kupandangi dari balik kacamata hitam ini. Tak kuat karena teriknya, aku bangun dari tempatku berbaring dan menuju teras belakang rumah lalu menghampiri Paman Ed yang sedang sibuk dengan senjata berburunya.

"Luke," panggil Paman Ed. "Paman sangat merindukanmu, begitu juga senapan dan alat panah ini. Terutama sobatmu, si crossbow." Ia mengelap crossbow itu sedikit. Kuraih crossbow kesayanganku dari Paman Ed dan aku membidik langit terang di atas sana. Rasanya begitu nyaman saat memegang senjata kesukaanku yang berbentuk busur panah itu. Lalu aku duduk dan membantu Paman Ed mengelap senapan-senapan kesayangannya.

Aku memperhatikan pamanku dengan seksama. "Kapan terakhir kali Paman merapikan senapan-senapan ini?"

Ia mengangkat kedua bahunya dan menjawab, "Entahlah, Paman sudah lupa. Semua terasa berbeda sejak kau pergi ke universitas."

Aku tersenyum masam. Sebenarnya aku juga tidak ingin meninggalkan Paman Ed dan Bibi Ellie. Sulit membayangkan mereka berdua melakukan segalanya hanya berdua saja. Biasanya aku tak pernah absen ikut berburu dengan Paman Ed atau hanya sekedar memasak hasil buruan kami dengan Bibi Ellie.

Keputusan untuk pergi ke universitas kubuat dengan penuh pertimbangan. Kedua orangtuaku sudah tiada, tapi Paman Ed mengungkapkan bahwa sebelum mereka meninggal, kedua orangtuaku ingin aku melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Aku yang pemalas seperti ini diminta untuk ke universitas? Yang benar saja, tapi aku yakin orangtuaku punya alasan yang baik untuk itu jadi aku terima-terima saja untuk masuk universitas.

"Ah, ya, semua terasa berbeda juga di universitas tanpa Paman." Aku tersenyum sambil membersihkan sedikit debu yang ada di pelatuk senapan itu. "Di mana Bibi Ellie?"

Aku meminta ijin kepada Paman Ed dan berjalan ke tempat Bibi Ellie berada. Tidak mudah untuk tidak merasa nyaman di rumah mungil ini. Aroma kayumanis tercium dari balik dinding dapur dan aku tahu Bibiku sedang membuat kue pai kesukaanku.

"Hmmm," aku memejamkan mataku dan mencium wangi kayumanis ini seolah seperti candu untukku. "Dari baunya saja, aku tahu Bibi sedang membuatkan untukku! Benar bukan?"

Bibi Ellie menyunggingkan senyum manisnya sambil membersihkan kedua tangannya di bak cuci piring. Kelihatannya dia sudah selesai karena konter di dapur sudah bersih. "Tentu, Luke. Ini untuk menyambut kedatanganmu hari ini."

Aku hanya merespon ucapan Bibi Ellie dengan kecupan di puncak kepalanya. Orang tua ini sudah sangat lama merawatku, sudah sejak aku berumur sekitar empat tahun. Aku tidak ingin melepaskan pelukanku dari Bibi Ellie, di asrama aku tidak bisa memeluknya seerat ini. Ya, aku tinggal di asrama karena ketentuan wajib dari pihak universitasku untuk mahasiswa tahun pertama. Kalau aku sudah lewat tahun pertama, mungkin aku akan pulang dan memilih tinggal di rumah saja. Aku tidak peduli dipanggil anak culun atau apa karena yang ada di otakku hanya melindungi Paman Ed dan Bibi Ellie.

Bibi Ellie melepaskan tubuhnya menjauhiku dan mengalihkan pandangannya ke televisi. Di layarnya tersiar kabar terbaru tentang kota tempatku berdiri sekarang. Pamanku masuk ke dalam rumah saat aku mengambil kursi untuk menonton televisi.

"Para pasien Rumah Sakit Aberdeen kini sedang dievakuasi. Para kepolisian kini sudah dibantu dari para tentara nasional karena kekacauan yang terjadi ini." Aku mengernyitkan dahiku mendengar pembaca berita itu. Kekacauan? Kekacauan apa yang terjadi di hari yang terasa begitu damai ini?

outbreak (l.h.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang