Bab I

970 63 2
                                    

Adanya pandemi virus Corona yang melanda belakangan ini, mengingatkanku pada cerita bapak dulu. Cerita tentang wabah muntaber yang pernah melanda desaku, Kedhung Jati. Cerita yang sudah berulang kali beliau ceritakan kepadaku, hingga aku nyaris hafal diluar kepala. Dan kali ini, disini, aku akan mencoba menceritakannya kembali kisah itu, kepada kalian, para reader tersayang.

Jelang akhir tahun '65-an, waktu itu bapakku masih bujangan, dan kondisi negeri ini belumlah semakmur sekarang. Kondisi ekonomi, politik, dan keamanan sedang gonjang ganjing kala itu. Kekeringan melanda. Kemiskinan merajalela. Kelaparan menjadi hal yang biasa. Maling, rampok, begal, garong, dan berbagai kejahatan lainnya merajalela. Hanya demi memenuhi tuntutan isi perut, orang rela melakukan apapun agar tetap bertahan hidup.

Dan seolah belum cukup dengan kemiskinan dan kelaparan, warga juga diuji dengan kondisi politik yang waktu itu sedang panas panasnya. Orang saling hasut, saling tuduh, saling fitnah, bahkan ada yang sampai saling bunuh hanya gara gara berbeda pandangan politik.

Untuk meredam segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi di desaku, kegiatan rondapun semakin digiatkan. Tidak hanya malam, tetapi juga siang hari. Setiap warga laki laki yang sudah dianggap dewasa, mendapat giliran jatah ronda setiap harinya. Tanpa terkecuali. Setiap jalan di perbatasan desa dijaga. Setiap orang yang keluar masuk desa diperiksa. Jika tak memiliki keperluan yang benar benar penting, maka jangan harap bisa bebas  keluar masuk ke desa Kedhung Jati, apalagi di waktu malam hari.

Hingga suatu malam, bapakku mendapat giliran ronda. Bersama dengan beberapa warga yang lain, bapak mendapat tugas berjaga di sebelah selatan desa, tepatnya diatas jalan turunan yang menuju ke area Tegal Salahan. Mereka telah bersiap siaga di lokasi itu semenjak Maghrib menjelang. Meski keadaan terlihat aman, namun mereka tetap bersikap waspada.

Hingga saat menjelang tengah malam, mereka yang berjaga mendengar suara berderit derit dari arah utara. Merekapun segera bersiaga. Dari kejauhan nampak bayangan hitam yang perlahan bergerak mendekat ke arah mereka. Semakin dekat, bayangan itu nampak semakin jelas. Sebuah gerobak kayu yang ditarik oleh seorang laki laki yang berjalan terseok seok, pertanda muatan yang ada didalam gerobak itu sangatlah berat.

"Mandeg! (Berhenti)" salah seorang teman bapak mencegat si penarik gerobak. Orang itupun berhenti. Wajahnya tak terlihat begitu jelas. Selain karena suasana malam yang remang, orang itu juga mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan tudung yang menutupi kepalanya.

"Sampeyan siapa? Darimana dan mau kemana? Terus ini gerobak isinya apa?" Tanpa banyak basa basi, teman bapak itu memberondongkan pertanyaan kepada si penarik gerobak yang nampak sudah kelelahan itu. Sorot senter diarahkan tepat ke wajah si penarik gerobak. Jelas, wajah itu terlihat asing. Bukan warga desa ini.

"Saya Diman Pak, dari dusun Tulak'an. Ini mau mengantar daging sapi ke selatan situ," si penarik gerobak menjawab dengan nada sopan, sambil menyeka keringat yang membanjir di wajahnya.

"Jangan bohong sampeyan! Mau buat apa daging sapi kok sampai segerobak penuh begini?" Teman bapak mengalihkan sorot senternya ke arah gerobak yang ditutup dengan menggunakan kain terpal itu. Memang terlihat penuh. Pantas saja terlihat sangat berat.

"Benar Pak. Saya tidak bohong. Ini daging sapi, mau digunakan untuk jamuan orang hajatan. Monggo to, kalau ndak percaya sampeyan periksa," orang itu sedikit menjauh dari gerobaknya, seolah memberi kesempatan kepada para peronda untuk memeriksa isi gerobak itu.

Bapak lalu menyingkap kain terpal penutup gerobak itu, lalu memeriksa isinya. Ternyata benar, gerobak itu penuh berisi daging. Pantas saja terlihat sangat berat. Namun anehnya, ada aroma kurang sedap yang tercium dari tumpukan daging di dalam gerobak itu, menandakan kalau daging daging itu sudah tak segar lagi.

Short Story Kedhung Jati 2 : Pageblug Di Desa Kedhung Jati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang