Bab VIII

528 60 4
                                    

Bapak dan Pak Dul terbengong takjub saat memasuki istana itu. Semua terlihat mewah, megah, dan serba gemerlapan, seolah seluruh bagian dari istana itu terbuat dari emas. Suara gamelan terdengar mengalun dari arah panggung kecil yang berada di sudut ruangan, ditabuh oleh sosok sosok berwajah rata dan berpakaian adat jawa. Meja dan kursi tertata rapi di sudut lain, dipenuhi oleh sosok sosok berpenampilan serba aneh yang mungkin adalah tamu undangan. Mereka sibuk menikmati hidangan yang telah disediakan, tanpa sedikitpun memperdulikan kehadiran Mbah Kendhil serta bapak dan Pak Dul.

"Kalian tunggu disini. Aku akan ngobrol sebentar dengan teman lamaku ini," kata Mbah Kendhil kepada bapak dan Pak Dul, sambil melirik ke arah sosok wewe gombel yang berdiri di sebelahnya.

"Hehehe...! Silahkan kalian nikmati pestanya. Jangan sungkan sungkan. Anggap saja di rumah sendiri," si wewe gombel terkekeh.

Bapak dan Pak Dul masih terbengong di tempatnya, saat Mbah Kendhil mengikuti langkah si wewe gombel masuk kedalam salah satu ruangan di istana itu. Kedua mata mereka lalu menyapu ke seluruh penjuru ruangan, memperhatikan tamu tamu yang hadir di pesta itu. Hampir semua jenis makhluk halus hadir disitu, namun tak ada satupun yang memperhatikan kehadiran bapak dan Pak Dul. Entah karena mereka tak peduli, atau memang tak bisa melihat kehadiran bapak dan Pak Dul yang memang berbeda jenis dengan mereka.

"Dul, aku lapar," bisik bapak pelan.

"Tahan saja laparmu! Kita berada di tempat dedhemit ini. Hidangan yang mereka suguhkan belum tentu cocok dengan lidah kita," Pak Dul ikut berbisik.

"Tapi..."

"Coba kamu perhatikan baik baik, apa yang dimakan oleh para lelembut itu," masih dengan berbisik Pak Dul menukas, sambil menunjuk ke arah tamu tamu itu.

Bapakpun menajamkan pandangannya. Dan rasa lapar di perutnya seketika berubah menjadi rasa mual, manakala melihat sesosok kuntilanak yang duduk di sudut ruangan nampak tengah asyik menggerogoti daging panggang. Bukan daging sapi ataupun kambing yang biasa dihidangkan di pesta pesta, melainkan sepotong tangan manusia lengkap dengan jari jemarinya.

Di sudut lain, nampak juga sesosok genderuwo yang tengah asyik menyeruput sop dari sebuah kuali besar. Bukan sop ayam ataupun kambing, melainkan sop kepala manusia utuh lengkap dengan rambut rambutnya.

Ada lagi sesosok manusia berkepala harimau yang tengah sibuk menggerogoti sepotong kaki manusia, dan masih banyak lagi hidangan hidangan ekstrim yang dinikmati oleh para tamu itu, yang membuat perut bapak semakin mual bukan kepalang.

"Kita duduk disana saja Dul," kata bapak akhirnya, sambil menunjuk ke arah sudut yang agak jauh dari tempat para tamu undangan itu.

"Nggak jadi makan?" Pak Dul bertanya setengah meledek.

"Sudah nggak nafsu," sungut bapak sambil menarik lengan Pak Dul menjauh dari tempat itu.

Mereka lalu duduk di pojokan sambil terus mengamati suasana pesta yang semakin lama nampak semakin meriah. Beberapa penari nampak berlenggak lenggok diatas panggung. Berbeda dengan makhluk makhluk yang lain yang rata rata berwajah seram dan menakutkan, para penari ini justru memiliki wajah cantik rupawan serta tubuh indah menawan dibalik balutan pakaian berupa kemben yang menampakkan lekuk liku bentuk tubuh mereka.

"Penarinya cantik cantik ya Dul, berbeda dengan para penabuh gamelan dan tamu tamu yang lain," bisik bapak.

"Ah, biar cantik juga mereka bukan manusia Min. Aku ndak tertarik," ujar Pak Dul.

"Ya paling tidak kan kita bisa nonton hiburan gratis Dul. Kapan lagi kita bisa melihat gadis gadis secantik mereka. Mana menarinya juga luwes banget lagi, mirip penari keraton," kata bapak lagi.

Short Story Kedhung Jati 2 : Pageblug Di Desa Kedhung Jati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang