Bab III

601 61 7
                                    

Bagai maling dikejar anjing, Pak Bayan Mangun mengayuh sepeda tuanya secepat yang ia bisa, kembali ke desa Kedhung Jati. Kabar yang ia terima dari Jagabaya desa Tulak'an, benar benar telah membuatnya khawatir.

Namun saat sampai di pertengahan desa Tarumas, laju sepedanya terpaksa ia hentikan, manakala dari arah yang berlawanan, nampak segerombolan orang yang berjalan tergesa menuju ke arahnya. Mau tak mau, Pak Bayanpun harus turun dan menepikan sepedanya.

"Ada apa ini, kok malam malam pada rame rame?" Tanya Pak Bayan saat rombongan itu melewatinya.

"Lho, Pak Bayan Kedhung Jati to rupanya. Anu Pak, ada warga yang meninggal," jawab salah seorang dari mereka.

"Innalillahi! Siapa yang meninggal?" Perasaan Pak Bayan mulai tak enak mendengar kata orang meninggal.

"Si Anu, si Anu, dan si Anu Pak," jawab orang itu lagi.

"Tiga orang?!"

"Iya Pak, dalam semalam ada tiga orang yang meninggal, makanya kami buru buru. Permisi Pak," orang itu bergegas melanjutkan langkahnya. Pak Bayan hanya mengangguk, lalu tertegun sejenak karena sebenarnya masih banyak hal yang ingin ia tanyakan kepada orang itu.

Rasa penasaran, membuat Pak Bayan melupakan sejenak rasa khawatirnya terhadap warga desanya sendiri. Ia lalu berbalik arah dan mengikuti rombongan itu. Sekedar ingin tahu, ada apa sebenarnya dibalik meninggalnya orang orang yang sepertinya meninggal dengan cara yang tak wajar itu.

****

Hari hampir pagi saat Pak Bayan meninggalkan desa Tarumas. Dengan wajah kuyu ia menuntun sepeda tuanya. Pikiran yang kalut, ditambah dengan rasa kantuk yang menyerang akibat semalaman tak tidur sama sekali, membuatnya tak bisa berpikir jernih lagi.

Dugaannya ternyata benar. Tiga orang warga Tarumas yang meninggal itu, sebelumnya mengalami gejala gejala yang sama dengan orang orang yang meninggal di desa Tulak'an. Sakit mencret dan muntah muntah tiada henti. Bukan tidak mungkin kalau selanjutnya warga desanya juga akan mengalami hal yang sama. Dan itu membuat pikirannya semakin kalut.

Berjalan sambil melamun, membuat konsentrasi Pak Bayan sedikit terpecah. Saat memasuki perbatasan desa, nyaris saja ia menginjak sesuatu yang merayap perlahan menyeberangi jalan. Seekor ular hitam sebesar lengan. Beruntung ia sigap menahan langkahnya. Jika tidak, maka selangkah lagi ia maju, maka ia akan menginjak dan bisa saja tergigit oleh binatang yang mungkin berbisa itu.

Pak Bayan tercekat, saat ular itu tiba tiba juga berhenti merayap dan mulai menegakkan kepalanya. Mata tua Pak Bayan masih mampu melihat, betapa mengerikannya kedua mata ular yang hanya berupa dua bintik kecil namun terlihat menyala kemerahan itu.

"Duh Gusti! Firasat buruk apalagi ini," gumam Pak Bayan dalam hati. Laki laki tua itu ingat, kata orang orang tua zaman dahulu, bertemu ular yang menyeberang jalan saat dalam perjalanan, merupakan sebuah pertanda buruk. Apalagi ular yang ada di hadapannya itu sepertinya bukanlah ular sembarangan. Ular apa yang matanya menyala kemerahan seperti itu kalau bukan....

"Astaghfirullahhaladziem! Semoga ini bukanlah suatu pertanda buruk," mengucap istighfar, Pak Bayan berusaha membuang jauh jauh segala pikiran buruk yang berkecamuk didalam benaknya. Tak lama, ular itu terlihat menurunkan kembali kepalanya, lalu merayap perlahan dan menghilang diantara rimbunan semak belukar di sisi jalan.

"Ah, Pak Bayan! Syukurlah kita bertemu disini. Saya baru saja hendak menyusul sampeyan ke desa Tulak'an Pak," sebuah suara mengejutkan Pak Bayan. Entah darimana datangnya, tiba tiba saja Pak Jagabaya telah berdiri di hadapannya.

"Ada apa Jagabaya?" Tanya Pak Bayan setelah berhasil menguasai keterkejutannya.

"Anu Pak, ada berita duka. Anak sulungnya Pak Sarno meninggal," jawab Pak Jagabaya.

Short Story Kedhung Jati 2 : Pageblug Di Desa Kedhung Jati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang