Epilog

630 62 27
                                    

Sadiyo namaku. Namun orang orang lebih sering memanggilku Kendhil, karena kondisi fisikku yang kurang sempurna. Aku lahir saat negeri ini masih berada dalam cengkeraman penjajah Belanda.

Bapakku mati ditembak Belanda, tepat didepan mataku. Kehormatan ibuku direnggut paksa oleh serdadu KNIL, juga tepat di depan mataku. Aku hidup terlantar setelah itu. Dan itu menumbuhkan api dendam yang begitu mendalam di benakku.

Ya. Semenjak kecil hidupku sudah dipenuhi oleh dendam. Dendam kepada orang orang Belanda yang merenggut nyawa ayahku. Dendam kepada serdadu KNIL yang merenggut kehormatan ibuku. Dan juga dendam kepada orang orang yang sepertinya sama sekali tak peduli dengan penderitaanku.

Usia duabelas tahun, aku sudah ikut keluar masuk hutan mengikuti para gerilyawan yang berjuang menentang Belanda. Dan selama itu juga aku banyak belajar dari mereka.

Di usia limabelas tahun, akhirnya aku berhasil menemukan serdadu KNIL yang dahulu merenggut kehormatan ibuku. Di tengah malam buta, bersama ketiga orang temanku, aku berhasil menyatroni rumah serdadu itu. Dendam kesumat telah sekian lama kupendam, kulampiaskan malam itu. Sebilah belati kutancapkan tepat di jantung serdadu itu, saat ia tengah pulas tertidur disamping istrinya.

Sebuah tindakan yang harus kubayar mahal. Teriakan istri dan anak serdadu itu, didengar oleh segerombolan serdadu yang tengah berpatroli. Kami dikepung. Kami diburu. Desingan peluru beterbangan. Dan salah satunya tepat menembus kepala salah satu temanku. Ia tewas, tepat di depan mataku. Dan itu membuat dendam yang selama ini sudah menguasai jiwaku semakin bertambah tambah.

Setelah kejadian itu, aku sadar bahwa untuk melawan para penjajah itu tak cukup hanya dengan sebilah belati atau sebatang bambu runcing. Mereka punya senapan yang jauh lebih canggih daripada senjata senjata yang kami miliki. Aku harus mencari sesuatu yang bisa mengimbangi kecanggihan senapan senapan mereka.

Aku mulai mempelajari ilmu ilmu kuno peninggalan para leluhur. Aku belajar dari satu guru ke guru yang lain. Aku juga sering menyepi dan bertirakat di tempat tempat keramat. Dan usahaku tak sia sia. Dengan ilmu yang kudapat, aku jadi semakin mudah dalam melawan para penjajah itu.

Usia dua puluh tahun, aku mulai mengenal cinta. Kecantikan kembang desa Kedhung Jati memikat hatiku. Dan cintaku ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Akupun memutuskan untuk melamar gadis itu. Kami menikah, dan setahun kemudian dikaruniai seorang anak laki laki yang gagah dan tampan.

Aku bahagia dengan keluarga baruku.  Namun perjuanganku terus berlanjut. Selama para penjajah itu belum enyah dari bumi pertiwi ini, aku tak akan berhenti. Dan dengan segala kemampuan dan pengalaman yang kumiliki, kini aku dipercaya untuk memimpin para gerilyawan itu.

Aku juga terus mengasah ilmuku. Hingga suatu ketika, aku mendengar ada seorang guru yang sangat sakti yang tinggal di lereng gunung Lawu. Seorang guru, yang konon katanya ilmunya sangat tinggi.

Tanpa membuang waktu, akupun segera berangkat ke lereng Lawu. Bukan hal yang mudah untuk menemui kakek tua itu. Dan lebih tidak mudah lagi untuk mendapatkan ilmu darinya. Ilmu yang dia miliki ternyata ilmu hitam, yang didapat dengan cara bersekutu dengan iblis dan setan, serta banyak persyaratan sulit yang harus dipenuhi.

Aku harus rela meninggalkan segala kesenangan dunia kalau ingin mendapatkan ilmu dari kakek itu, termasuk harus meninggalkan keluarga kecilku yang begitu aku sayangi. Berat memang, tapi dendam yang sudah mendarah daging dalam diriku, rupanya telah membutakan mata hatiku.

Tanpa pikir panjang syarat itu kusanggupi. Seratus hari aku menyepi di lereng Lawu, akhirnya aku berhasil menguasai semua ilmu dari kakek itu. Akupun segera turun gunung, dan tanpa membuang buang waktu segera menjajal ilmu yang baru aku dapat itu.

Short Story Kedhung Jati 2 : Pageblug Di Desa Kedhung Jati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang