Bab II

646 52 4
                                    

Suara kentongan dipukul bertalu talu terdengar dari setiap penjuru desa. Kentongan tanda bahaya di tengah malam buta, membuat hampir semua warga terbangun dan bersiaga. Para perempuan segera mengumpulkan anak anak mereka untuk kemudian mereka sembunyikan dibalik ketiak. Sementara kaum laki laki, segera mengencangkan lilitan sarung di pinggang mereka, lalu bergegas keluar rumah dengan senjata tergenggam di tangan. Golok, arit, pacul, linggis, pentungan, dan apa saja yang bisa mereka sambar untuk dijadikan senjata mereka bawa.

Pak Dul yang menjadi ketua ronda malam itu, lalu memberi instruksi kepada semua warga untuk menyebar keseluruh penjuru desa. Manusia atau bukan, sosok penarik gerobak yang mencurigakan itu harus segera mereka temukan.

"Ada apa Dul?" Tanya Pak Jagabaya yang baru tiba bersamaan dengan Pak Bayan.

"Ada orang mencurigakan membawa gerobak berisi bangkai manusia Pak," Pak Dul menjawab disela nafasnya yang memburu. Kejadian barusan benar benar telah membuat laki laki pemberani itu panik bukan kepalang.

"Lha, terus dimana orangnya sekarang?" Tanya Pak Bayan.

"Maaf Pak. Saya gagal menangkapnya. Orang itu..., sepertinya bukan orang sembarangan. Atau malah bukan orang. Saya sempat menebas kepalanya sampai putus, tapi...," Pak Dul tak melanjutkan kata katanya. Sulit baginya untuk menjelaskan kejadian tak masuk akal yang baru saja dialaminya itu.

"Tapi kenapa? Ngomong yang jelas! Jangan bertele tele," sentak Pak Jagabaya.

"Orang itu nggak mati Pak. Ia justru mengambil dan memasang kembali kepalanya yang sudah putus dan menggelinding di tanah," tergagap, Pak Dul menjawab sambil menelan ludah.

"Goblok!!!" Bentak Pak Jagabaya. Perangkat desa yang bertanggung jawab atas keamanan desa dan dikenal sebagai orang yang sangat galak itu melotot. Kumisnya yang setebal bantal bergerak gerak. "Percuma kamu sudah berguru kemana mana Dul, kalau menangkap satu orang saja kamu ndak becus!"

"Ya maaf Pak. Saya ngaku salah. Tapi orang itu sepertinya bukan orang sembarangan. Malah mungkin bukan orang. Tapi dedhemit. Larinya cepat sekali Pak, meski sambil menarik gerobak yang isinya sangat berat. Dia..., dia seperti bisa terbang Pak," Pak Dul menjelaskan dengan wajah menunduk, tak berani membalas tatapan Pak Jagabaya yang begitu garang.

"Ganti saja sarungmu itu dengan daster, kalau kau masih merasa takut sama dedhemit!" Pak Jagabaya mendengus.

"Sudah! Ndak perlu ribut," Pak Bayan menengahi. "Lebih baik sekarang ayo kita cari orang itu. Kemana larinya dia Dul?"

"Ke arah selatan Pak! Sepertinya menuju ke desa Kedhungsono," jawab Pak Dul.

"Ada informasi yang kau dapat dari orang itu?" Tanya Pak Bayan lagi.

Pak Dul pun segera menceritakan semua kejadian yang dialaminya tadi. Tentang darimana dan mau kemana orang misterius itu, tentang Kanjeng Ratu yang katanya mau hajatan, sampai tentang potongan kaki dan tangan manusia yang mereka temukan saat menggeledah gerobaknya. Semuanya ia ceritakan apa adanya, tanpa ditambah ataupun dikurangi.

"Hmmm..., seperti itu ya," Pak Bayan manggut manggut sambil mengelus elus janggut setelah mendengar penjelasan dari Pak Dul. "Bagaimana menurutmu, Jagabaya?"

"Pembuang mayat," Pak Jagabaya menjawab setengah menggumam.

"Pembuang mayat?" Hampir serempak, orang orang yang mendengar ucapan laki laki berkumis tebal itu, mengulangnya dengan nada tanya.

"Ya. Belakangan santer tersiar kabar tentang adanya orang orang yang sering membuang mayat secara diam diam. Kebanyakan mayat mayat sisa korban kerusuhan bulan kemarin itu," jelas Pak Jagabaya.

"Kamu yakin?" Tanya Pak Bayan.

"Itu baru dugaan Pak," jawab Pak Jagabaya. "Tapi itu lebih masuk akal daripada segala macam dedhemit yang diceritakan oleh Dul tadi."

Short Story Kedhung Jati 2 : Pageblug Di Desa Kedhung Jati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang