Bab VI

517 57 3
                                    

"Lho, Mbah? Sampeyan...," bapak dan Pak Dul sama sama tercekat saat mendapati sosok Mbah Kendhil ternyata telah berdiri di belakang mereka.

"Kalian memata mataku heh?!" Dengus laki laki tua itu kasar.

"Apa yang simbah lakukan malam malam begini?" Pak Dul berdiri dan membalikkan badan, hingga posisi mereka kini saling berhadapan. Sementara bapak beringsut kebelakang tubuh Pak Dul.

"Bukan urusanmu!"  Dengus laki laki tua itu lagi.

"Sekarang jadi urusanku Mbah! Desa sedang tidak aman! Dan simbah tiba tiba muncul diam diam di saat malam begini, melakukan hal aneh seperti itu secara diam diam juga, itu sangat mencurigakan Mbah! Lebih baik sekarang simbah ngaku saja, apa yang barusan simbah lakukan?!" Sentak Pak Dul. Rasa takutnya terhadap laki laki tua itu sepertinya terkalahkan oleh rasa tanggung jawabnya untuk melindungi warga desa, hingga dengan berani ia bicara sekeras itu kepada Mbah Kendhil.

"Hahaha...! Dasar bocah gemblung! Kau pikir dengan siapa kau bicara heh?! Sudah! Kalian ndak usah banyak ngomong! Daripada kalian nanti aku jadikan perkedel, lebih baik sekarang kalian bantu aku," kata Mbah Kendhil dengan nada tegas.

"Tidak! Sebelum kami tau apa maksud simbah melakukan hal hal mencurigakan seperti ini!" Pak Dul tak kalah tegas membantah.

"Ya sudah kalau ndak mau bantu! Tapi jangan salahkan aku kalau besok desa ini menjadi desa mati karena warganya musnah dimakan pageblug!"

"Jadi simbah...."

"Nih! Taburkan ini mengelilingi setiap rumah yang ada di desa ini. Jangan sampai ada yang terlewat. Dan harus selesai sebelum tengah malam," Mbah Kendhil memberikan dua kantong plastik besar yang entah apa isinya kepada bapak dan Pak Dul, tanpa memberi kesempatan kepada keduanya untuk membantah.

"Apa ini Mbah?" Bapak bertanya sambil mengendus isi kantong plastik tersebut. Tercium bau tak sedap yang menusuk hidung. Tapi karena suasana malam yang gelap, baik bapak maupun Pak Dul tak bisa melihat dengan jelas isi kantong plastik tersebut.

"Bubuk garam, yang sudah kucampur dengan air kencing dari anjing anjing piaraanku," sahut Mbah Kendhil.

"Whuueekk...! Pantesan bau banget," sungut Pak Dul. "Tapi untuk apa...."

"Sudah! Cepat kerjakan saja apa yang ku suruh tadi! Waktu kita tidak banyak!" Sentak Mbah Kendhil menukas ucapan Pak Dul.

Meski masih sedikit bingung, toh akhirnya bapak dan Pak Dul pun melakukan apa yang diperintahkan oleh orang tua aneh itu. Bubuk garam berbau tengik itu mereka taburkan mengelilingi setiap rumah warga tanpa terkecuali.

"Kenapa ndak minta bantuan warga saja sih Mbah, biar cepet selesai. Kan waktu kita tidak banyak. Bisa ndak selesai ini kalau waktunya cuma sampai tengah malam nanti," tanya Pak Dul sambil sibuk menaburkan garam mengitari salah satu rumah warga.

"Ndak usah banyak tanya! Kerjakan saja! Nanti juga kamu akan tau apa sebabnya," jawab Mbah Kendhil sambil mengawasi bapak dan Pak Dul yang tengah sibuk bekerja. Gayanya sudah mirip mandor galak yang mengawasi kulinya.

Bapak dan Pak Dul pun akhirnya diam, tak berani bertanya tanya lagi. Mereka sibuk melakukan apa yang telah diperintahkan oleh orang tua itu, karena mereka sangat yakin bahwa apa yang diperintahkan oleh Mbah Kendhil itu semata mata demi keselamatan warga desa.

Hampir separuh desa telah berhasil mereka taburi garam pemberian Mbah Kendhil, saat tiba tiba suasana desa yang awalnya sunyi senyap berubah menjadi gaduh. Jeritan warga terdengar dari setiap penjuru desa, disusul dengan terbukanya pintu dari setiap rumah dan keluarnya para penghuni rumah itu. Mereka semua terlihat panik berlarian kesana kemari. Suara kentongan ditabuh bertalu talu juga terdengar dari setiap rumah warga.

"Hey! Apa yang terjadi?!" Tanya Pak Dul kepada salah seorang warga yang melintas di dekatnya. Namun orang itu seolah tak mengacuhkannya. Ia terus berlarian kesana kemari sambil berteriak teriak minta tolong.

"Hey!" Seru Pak Dul sedikit kesal karena merasa tak diacuhkan.

"Percuma! Dia ndak akan bisa mendengar suaramu," kata Mbah Kendhil.

"Lho, kok bisa Mbah?" Tanya bapak.

"Ya karena mereka memang ndak bisa melihat dan mendengar suara kita," jawab Mbah Kendhil.

"Kenapa bisa begitu Mbah?"

"Karena aku sengaja membuat kalian tak terlihat, agar ndak ada orang yang mengganggu pekerjaan kalian itu."

"Oh, jadi simbah sengaja membuat kita tak terlihat karena ingin melakukan semua ini secara diam diam ya?"

"Kalau sudah tau kenapa masih nanya?"

"Lalu kenapa tadi kami bisa melihat simbah? Jangan jangan simbah sengaja menampakkan diri pada kami karena memang ingin kami berdua membantu simbah ya?"

"Hahaha...! Ternyata kalian tak sebodoh yang aku kira ya. Memang seperti itulah adanya."

"Lalu kenapa harus kami Mbah? Dan kenapa kita harus melakukan semua ini secara diam diam?"

"Ya karena aku memang menginginkannya seperti itu," kembali Mbah Kendhil terkekeh. "Sudah. Cepat selesaikan pekerjaan kalian. Kalau memang ingin tau apa yang terjadi, dengarkan saja apa yang para warga itu bicarakan."

Merekapun lalu kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat terjeda akibat suasana gaduh itu. Sambil bekerja, mereka diam diam menguping pembicaraan warga yang sempat mereka dengar. Ternyata penyakit aneh itu mulai menyerang para warga. Suasana desa benar benar kacau. Hampir dari setiap rumah terdengar suara orang muntah muntah. Juga suara jeritan dan tangisan minta tolong, tanpa ada seorangpun yang datang untuk memberi pertolongan. Bagaimana mereka bisa menolong sesamanya, kalau diri mereka saja juga mengalami nasib yang sama dengan si peminta tolong? Aroma tak sedap mulai menguar, menyebar hampir ke seluruh penjuru desa. Aroma kotoran dan muntahan manusia yang mungkin juga telah memenuhi setiap penjuru desa.

"Gawat! Kenapa bisa jadi begini Mbah? Kenapa warga masih bisa terserang penyakit aneh itu? Lalu apa gunanya garam yang kita sebar ini?" Tanya Pak Dul sedikit panik.

"Garam itu bukan untuk mencegah penyakit, tapi untuk mencegah warga agar jangan sampai mati karena penyakit itu," jawab Mbah Kendhil.

"Yach, jadi percuma dong Mbah. Nggak mati tapi masih terkena penyakit seperti itu kan malah lebih menderita."

"Itu kita urus nanti. Sekarang ada hal yang lebih penting untuk segera kita lakukan. Berapa rumah lagi yang belum ditaburi garam?" Tanya Mbah Kendhil.

"Tinggal lima rumah lagi Mbah," jawab bapak.

"Cepat selesaikan!"

Bapak dan Pak Dul pun bergegas menyelesaikan tugasnya. Dengan tergesa, satu persatu rumah yang tersisa mereka kelilingi sambil mereka taburi garam.

"Sudah selesai Mbah," lapor Pak Dul, begitu rumah terakhir selesai mereka taburi garam.

"Bukan selesai Dul! Tapi ini baru dimulai," Mbah Kendhil mendongak, menatap bulan purnama penuh yang menggantung diatas cakrawala.

"Kalian dengar sesuatu?" Gumam Mbah Kendhil.

Bapak dan Pak Dul saling pandang, lalu memasang telinga mereka baik baik. sayup sayup, diantara suara hiruk pikuknya keributan warga, terdengar alunan suara gamelan yang mengalun lembut.

"Suara gamelan itu Mbah?" Hampir serempak bapak dan Pak Dul bertanya.

"Ya. Ternyata benar dugaanku! Mereka memulainya tepat disaat malam purnama. Sekarang, ayo ikut aku!" Tegas Mbah Kendhil.

"Kemana Mbah?"

Jagong!" ( Jagong = kondangan, menghadiri resepsi perkawinan.)

"Jagong? Jagong kemana Mbah?"

"Ke kerajaan ratu dhemit Tegal Salahan!"

Hah?!"

Bersambung

Short Story Kedhung Jati 2 : Pageblug Di Desa Kedhung Jati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang