Bab IV

576 57 13
                                    

Ada yang berbeda dengan suasana di pemakaman umum desa Kedhung Jati siang itu. Pemakaman di ujung desa yang biasanya sepi itu, kini nampak dipenuhi oleh kerumunan manusia. Meski begitu, suasana tetap terasa hening dan sunyi. Tak ada seorangpun yang berani mengeluarkan suara. Semua diam. Hanya alunan doa yang dipanjatkan oleh Pak Bayan yang terdengar mengalun syahdu, menambah suasana terasa semakin pilu.

Dua anak desa Kedhung Jati dimakamkan hampir bersamaan di hari itu, di dua liang lahat yang digali berdampingan. Tangisan duka dari keluarga si mati sesekali masih terdengar, seolah mereka belum benar benar bisa merelakan kepergian anak anak itu yang begitu mendadak. Pun dengan warga desa yang lain. Suasana duka juga tergambar jelas di wajah wajah mereka. Raut duka bercampur cemas, mengingat desas desus yang telah beredar tentang kejadian misterius yang terjadi di desa desa tetangga. Kejadian, yang bukan tak mungkin juga akan menimpa mereka.

Jenazah telah selesai dimakamkan. Bunga serampaipun telah ditaburi diatas gundukan tanah merah yang masih basah itu. Doa doa juga telah selesai dipanjatkan. Satu persatu wargapun mulai membubarkan diri. Pulang ke rumah masing masing, meninggalkan dua anak manusia yang kini telah terbaring sendirian di liang lahat. Suasana pemakaman pun terasa semakin sunyi. Hanya menyisakan beberapa orang saja yang masih tinggal. Pak Bayan dan beberapa orang laki laki yang menunggu instruksi dari laki laki tua itu.

"Saya akan langsung ke kecamatan. Kalian masih ingat kan dengan tugas tugas yang aku berikan tadi?" Ujar Pak Bayan pelan. Orang orang yang berdiri mengelilinginya serempak mengangguk.

"Bagus! Kalau begitu, cepat laksanakan. Semakin cepat maka akan semakin baik," tegas Pak Bayan.

Merekapun serempak bubar. Pak Bayan mengayuh sepeda tuanya menuju ke arah kota kecamatan. Pak Jagabaya kembali ke desa untuk membantu keluarga yang berduka mempersiapkan acara pengajian nanti malam. Sedangkan Pak Dul mengajak Bapakku dan Pak Marto menuju ke area Tegal Salahan, tempat dimana pondok tempat tinggal Mbah Kendhil berada.

"Sial! Kenapa juga aku yang harus ketiban sial!" Pak Dul menggerutu sepanjang jalan.

"Sudah! Ndak usah menggerutu. Ini semua kan demi kepentingan desa," ujar bapak sok menasehati.

"Betul itu," Pak Marto menimpali. "Lagipula kan kamu yang mengusulkan kepada Pak Bayan untuk minta bantuan sama Mbah Kendhil."

"Iya sih. Tapi kan nggak harus aku juga yang disuruh menemui kakek itu. Masih banyak warga lain yang bisa disuruh. Kita sudah capek lho, dari semalam ndak ada istirahat sama sekali," Pak Dul bersungut.

"Hehehe..., capek apa takut nih?" Ledek Pak Marto.

"Siapa juga yang ndak takut kalau harus ketemu sama kakek aneh itu. Jangankan datang kerumahnya, ketemu dijalan saja orang juga langsung kabur terbirit birit."

"Aku juga heran lho. Kenapa orang orang pada takut sama Mbah Kendhil. Padahal setahu ku dia ndak pernah jahat sama warga desa," kata bapakku.

"Kamu ndak tau sih Min. Aku yang menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Saat gegeran bulan kemarin, Mbah Kendhil kan termasuk salah satu orang yang menjadi target. Dan kamu tau apa yang terjadi saat dia mau dieksekusi? Nggak ada yang sanggup mengeksekusinya. Ditembak aparat cuma ngakak ngakak. Dibacok warga cuma manthuk manthuk! Bahkan peluru yang ditembakkan tentara ke tubuhnyapun cuma mental jatuh ke tanah. Peluru itu lalu dipungut sama Mbah Kendhil dan dikunyah. Gila ndak tuh? Ndak cuma sampai disitu, ia juga menantang para tentara yang menembaknya itu. Katanya gini, "Kalian harus menjadi Tuhan terlebih dahulu untuk bisa membunuhku!" Kan gila itu namanya," kata Pak Dul panjang lebar.

"Iya. Aku juga sempat dengar ceritanya. Bahkan kudengar, ia juga mengancam, kalau masih ada orang yang berani mengusiknya lagi, maka akan ia cincang dan ia jadikan santapan buat anjing anjing piaraannya," sambung Pak Marto.

"Wah, serem juga ya. Berarti ilmu Mbah Kendhil itu sangat tinggi ya," ujar bapak.

"Denger denger sih gitu. Makanya aku mengusulkan sama Pak Bayan buat minta bantuan ke dia. Konon katanya, dia sudah berguru kemana mana. Juga sering menyepi dan bertapa di tempat tempat keramat. Bahkan katanya pernah menyepi ke gunung Lawu segala. Jadi jangan heran kalau ilmunya memang sangat tinggi. Saat zaman Belanda dulu, orang orang kompeni sampai dibuat kalang kabut sama kakek itu," jelas Pak Dul.

"Kenapa kamu ndak berguru saja sama Mbah Kendhil Dul? Kamu kan suka nyari ilmu ilmu yang kayak gitu?" Tanya bapak.

"Halah! Ra sudi aku! Dibayarpun aku ndak bakalan mau berguru sama dia. Ilmunya itu ilmu hitam Min. Ilmu setan. Punya ilmu seperti itu, sama saja kita berkawan sama setan. Nanti kalau mati kita juga akan jadi setan," jawab Pak Dul.

"Hahaha...! Ternyata kamu masih takut sama setan ya Dul," Pak Marto tergelak.

"Halah! Kayak kamu ndak takut saja. Semalam siapa coba yang hampir ngompol gara gara nemu potongan kepala manusia," sungut Pak Dul, yang segera disambut oleh tawa mereka bertiga.

Asyik berjalan sambil ngobrol, membuat mereka tak sadar kalau sudah tiba di dekat pondok Mbah Kendhil. Pondok kayu sederhana yang kondisinya sedikit memprihatinkan. Terletak jauh terpisah dari area pemukiman warga, di tengah tengah ladang jagung di Tegal Salahan yang terkenal angker. Jelas kesan mistis begitu terasa di tempat itu meski hari masih siang.

"Buruan Dul, temui Mbah Kendhil, biar kami menunggu disini," bisik bapak begitu mereka tiba di halaman pondok itu.

"Lho, kok aku sih? Kita bertiga dong! Masa aku sendirian," protes Pak Dul.

"Kan kamu yang disuruh sama Pak Bayan. Kita kan cuma disuruh nemenin," kata Pak Marto.

"Ya ndak bisa gitu dong. Ndak adil itu namanya. Kita kesini bertiga, masuk ke rumah Mbah Kendhil juga harus bertiga," kata Pak Dul.

"Ndak ah, aku takut," kata Pak Marto.

"Aku juga," kata bapak.

"Yach, jadi percuma dong aku ngajak kalian," gerutu Pak Dul.

"Kamu juga takut Dul?" Tanya bapak, sengaja memanas manasi.

"Bukannya takut, tapi..."

"Halah! Bilang aja takut, pakai tapi segala."

"Wedhus!" Pak Dul mendengus. "Siapa juga yang takut. Aku ndak takut! Cuma rasanya ndak adil saja, kita kesini bertiga tapi harus aku sendirian yang menemui Mbah Kendhil."

"Ya sudah. Biar adil kita hom pim pah saja. Siapa yang kalah, maka dia yang masuk ke rumah Mbah Kendhil," usul Pak Marto.

"Ngawur! Memangnya kita anak kecil apa, pakai hom pim pah segala," tolak Pak Dul. Usul Pak Marto memang terkesan konyol. Namun toh akhirnya setelah berdebat panjang kali lebar, akhirnya mereka melakukan juga usul konyol itu.

Mereka bertiga melakukan hom pim pah, dan lagi lagi yang ketiban Sial adalah Pak Dul. Kalah hom pim pah, Pak Dul terpaksa melangkah memasuki teras pondok itu. Pondok yang nampak sangat tak terawat. Bahkan di terasnyapun nampak ditumbuhi rerumputan yang sepertinya dibiarkan begitu saja tanpa ada niat dari si pemilik untuk membersihkannya.

Pak Dul menghela nafas beberapa kali, sebelum tangannya terjulur, bermaksud mengetuk pintu pondok itu. Namun, belum sempat buku buku tangannya menyentuh permukaan pintu, sebuah suara serak menggelegar terdengar mengejutkannya. Tanpa sadar Pak Dul pun mengumpat sambil melompat mundur kembali ke halaman.

"Mau apa kalian datang kemari?!"

"Wedhus!!!"

Bersambung

Short Story Kedhung Jati 2 : Pageblug Di Desa Kedhung Jati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang