J. Tembok Besar

35 8 0
                                    

Saat ini Mika sedang bersantai di belakang rumah dengan buku di pangkuannya. Tidak lupa kacamata bening yang tergantung indah di atas hidungnya. Ini adalah kebiasaan baru Mika sejak Alva tidak memperbolehkannya keluar rumah. Bahkan setelah hubungan keduanya membaik, Mika tetap dilarang untuk melakukan segala aktivitas di luar lingkungan rumah. Demi keamanan katanya.

"Permisi, Nona Mika."

Perempuan berkerudung biru itu menoleh, mendapati Bibi Helen dengan wajah pias. Sesuatu yang berada di kedua tangan perempuan tua itu menarik perhatian Mika. Kemeja putih Alva yang beberapa waktu lalu terkena noda darah.

"Iya, Bi?"

"I- ini nodanya hanya bisa hilang sedikit, Nona." Bibi Helen membuka kemeja itu hingga tampak bercak kecoklatan yang masih ada di sana. Meskipun demikian, Mika dapat mencium bau harum deterjen yang menguar dari kemeja tersebut.

"Sudah menggunakan pemutih pakaian?"

Bibi Helen mengangguk, "sudah, bahkan tiga hari ini sudah direndam menggunakan pemutih."

Mika memutar otak, "Bibi simpan dulu kemejanya ya? Nanti aku tanya ke Alva. Boleh dibuang apa tidak, karena percuma juga kalau disimpan tapi masih banyak nodanya."

"Apa itu?"

Kedua perempuan itu tersentak kaget, melihat Alva datang dengan menggulung lengan kemejanya. Mika melirik jam di pergelangan tangannya, ini masih pagi. Alva baru saja meninggalkan rumah dua jam yang lalu.

Pada akhirnya Mika mengambil alih kemeja itu dari tangan Bibi Helen, kemudian memintanya untuk kembali mengurus pekerjaan rumah lainnya, sebab ia akan membicarakan hal ini dengan Alva saja.

"Kemejamu yang kapan hari terkena darah, tidak bisa hilang nodanya," Mika menggeser tubuhnya agar Alva dapat duduk di sebelahnya.

"Buang saja."

"Oke."

Setelah itu, keduanya dilingkupi keheningan. Sebenarnya Mika ingin bertanya darah apa atau darah siapa yang mengotori kemejanya. Namun, ia masih berusaha membendung itu. Ia tidak ingin memancing kemarahan suaminya lagi. Karena Mika pun tidak tahu, seberapa besar beban pekerjaan mertuanya yang diberikan ke Alva.

"Ada apa? Masih pagi kok sudah pulang?" Tanya Mika setelah mencari-cari topik pembicaraan yang pas.

"Ada berkas ketinggalan."

"Oh, sudah ketemu?"

"Sudah."

"Lalu?"

Mika yang tadinya menunduk, kini kembali menatap wajah Alva dengan raut heran.

"Kau tidak kembali ke kantor?"

Alva mendengus, "kau mengusirku?"

"Ish, aku hanya bertanya!"

Tidak ada lagi jawaban dari Alva, membuat suasana kembali hening seperti semula. Dalam hatinya, Mika masih meyakinkan diri untuk menepis semua keingintahuannya. Meskipun sedikit rasa kecewa menjalar di hati karena Alva masih belum mempercayainya untuk menjadi tempat cerita. Di posisi ini, ia sebagai istri seharusnya menjadi sosok barisan terdepan untuk mendengarkan keluh kesah suaminya. Seperti ucapan Alva beberapa hari lalu yang menganggapnya rumah. Maka jika Mika benar-benar dianggap rumah, rumah bagaimana yang dimaksud Alva? Sedangkan laki-laki itu saja memendam segalanya sendiri.

"Al?"

"Hmm."

"Sebenarnya kau ini kenapa?"

Alva menaikkan satu alisnya, "kenapa apanya?"

Mr. GlowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang