Hari-hari Mika dilaluinya di Venezuela. Kandungannya kini semakin besar, menginjak usia delapan bulan. Seringkali ibu mertuanya dan Eve berkunjung untuk sekadar menanyakan kabar atau membawakan makanan khas Venezuela kesukaannya. Dengan begitu, Mika merasa memiliki keluarga sehingga ia tidak kesepian. Meski demikian, tetap saja dirinya merindukan sang kakak dan sang ibu yang sudah lama tidak ia kunjungi. Terakhir ke Indonesia pun saat kemarin waktu usia kandungannya masih dua bulan.
Mika menatap hamparan bunga di kebun belakang yang baru ditanam mertuanya. Aroma harum menggelitik hidungnya bertepatan dengan semilir angin yang membuat bunga-bunga itu melambai. Mika mengembuskan napas lagi. Sejak menguping pembicaraan Alva dan seseorang di telepon beberapa lalu itu, ia sudah tidak pernah lagi mendapat kabar kelanjutan kasus kakaknya dan pelaku penculikannya. Percuma saja, bertanya pun Alva tidak akan menjawabnya.
Terkadang Alva seperti orang asing yang tidak menganggap keberadaan istrinya sendiri. Mika tidak diperkenankan untuk mengetahui sedikit pun masalah yang tengah dihadapi laki-laki itu. Baik dalam pekerjaan atau kehidupannya. Terkadang Mika jadi berpikir, apa dulu Alva setertutup ini waktu menjalin hubungan dengan kakaknya? Atau posisinya dan Mira berbeda sehingga Alva lebih terbuka ke kakaknya?
Mika menggeleng pelan.
"Sudah mau maghrib, tidak ingin masuk?" Alva yang baru pulang itu menghampiri sang istri, lalu membantunya berdiri.
Memang sejak Mika hamil besar, laki-laki itu selalu pulang lebih awal. Sebenarnya Alva ingin mengajukan cuti ke perusahaannya sendiri sejak usia kandungan Mika menginjak tujuh bulan, yang langsung ditolak oleh istrinya. Perempuan itu mengatakan jika Alva terlalu berlebihan kalau sampai mengambil cuti selama itu.
"Mom jadi ke sini, Al?" Tanya Mika sembari mendudukkan diri di sofa ruang tengah. Perempuan itu mengusap perut besarnya, mencari posisi nyaman untuk dirinya.
"Jadi, nanti setelah Isya."
"Sama Dad?"
Alva sontak menaikkan satu alisnya, "sepertinya tidak."
"Ini perasaanku saja atau memang papa jadi jarang ke sini sejak kita pulang dari Indonesia ya, Al? Aku terakhir bertemu saja tiga bulan lalu saat pernikahan karyawan kantor. Dad tidak kenapa-napa kan, Al?"
"Papa baik-baik saja, kok. Mungkin ini hanya perasaanmu, Sayang. Aku mandi dulu, ya." Alva mengusap lembut kepala Mika. Perempuan itu tersenyum seraya mengembuskan napas gusar, tahu jika ucapan Alva belum menjawab rasa penasarannya.
***
Untuk menyambut keluarga Alva, Mika menyiapkan cookies dan roti kukus brownies yang dibuatnya pagi tadi. Perempuan itu sedikit engap karena sejak tadi sibuk di dapur. Ia duduk di ruang makan, menatap meja di hadapannya dengan puas.
"Seharusnya kau tidak perlu serepot ini, sayang." Alva menyodorkan segelas air putih ke hadapan ibu hamil yang langsung disambut baik olehnya.
"Tidak apa-apa, aku suka membuat kue." Mika tersenyum lebar, membuat laki-laki itu tersenyum gemas dan mencubit pelan pipinya yang mulai bengkak karena hamil.
"Terima kasih, ya," ucap Alva tulus sambil meraih tangan Mika ke dalam genggamannya, kemudian mengusapnya lembut dengan ibu jari.
"Sama-sama, Al. Seperti sama siapa saja. Oh iya, kalau sewaktu-waktu kau ingin kumasakkan, aku juga tidak apa-apa kok. Tapi masih perlu belajar kalau untuk masakan Venezuela."
Alva terkekeh. "Aku suka semua masakanmu, apapun yang kau buat akan kumakan."
Keduanya saling bertatapan dan melempar senyum. Tepat setelah itu, suara bel pintu rumah berbunyi. Alva membantu Mika berdiri, kemudian menghampirinya bersama. Tidak salah lagi, itu pasti orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Glowing
General Fiction"Wajahmu memang tampan dan bersinar. Tapi tidak dengan hatimu!" *** Spiritual-Romance Mika (22) seorang muslimah yang berprofresi sebagai penjahit terpaksa menikah dengan seorang pengusaha skincare bernama Alva Zerius (30). Kalau bukan karena wasiat...