Mika Farastika's POV
Beberapa pekerja membantuku melepas manik-manik yang masih menempel di kerudung putihku. Satu jam yang lalu, aku dan Alva sudah sah sebagai suami-istri baik di mata agama maupun di mata hukum. Tidak ada acara resepsi ataupun pesta pernikahan, karena memang ini permintaanku yang hanya mengizinkan Alva untuk berijab kabul saja. Bukan apa-apa, kurasa resepsi dan pesta akan membuat lelaki itu semakin boros. Lagipula, kita sama-sama menjalankan pernikahan ini secara terpaksa bukan?
Tanganku bergerak menyeka air mata yang masih merembes dari pelupuk mata, membasahi pipi hingga bercampur dengan sisa make up ku tadi. Seakan tidak ingin ikut campur, pekerja-pekerja itu hanya memberikanku semangat tanpa menanyakan persoalan ataupun sebabnya. Meski begitu aku tetap bersyukur, setidaknya masih ada orang yang memberikanku semangat hari ini.
Kutatap wajah senduku yang sudah terbebas dari make up. Aku menguatkan diriku sendiri agar tetap kuat menghadapi rumah tangga ini bersama Alva ke depannya. Biar bagaimanapun juga, Kak Mira sudah memberi amanah kepadaku. Jadi, siap tidak siap pun aku harus menjaga dan menjalankan pernikahan ini dengan baik.
"Berhenti menangis, Mika! Setengah jam lagi kita akan pergi ke Venezuela. Persiapkan dirimu!"
Aku tersentak mendengar suara Alva yang sangat tajam. Lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah, serta kaos hitam dan celana pendek selutut yang membungkus tubuh atletisnya. Dari sini, aku bisa melihat bagaimana indahnya salah satu ciptaan Allah yang ternyata adalah suamiku sendiri. Ya, aku mengakuinya.
Alva berjalan menuju ranjang. Aku sedikit melirik ke arahnya, kemudian kembali sadar jika para pekerja yang tadi membantuku sudah keluar meninggalkanku sejak tadi.
Aku mendesah kasar, masih menatap Alva dari pantulan cermin. Meskipun fokusku tadi sempat berkurang karena mengakui ketampanannya, namun aku masih bisa mengelak "Setengah jam? Bahkan itu tidak cukup un.."
"Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu. Turuti saja apa perintahku." Aku kembali melirik Alva yang tengah menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang, ia berucap sambil memejamkan mata.
Jika sudah begini, aku tidak bisa mengatakan apapun lagi. Aku beranjak untuk mengambil baju dari koper, lalu bergegas masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuhku yang terasa lengket akan keringat. Beruntung sekali gaun rancanganku sendiri ini tidak begitu merepotkan. Jadi aku bisa melepaskannya sendiri tanpa meminta bantuan lelaki kejam itu.
Aku memutuskan untuk berendam air hangat sebentar. Maka terlebih dahulu aku mengisi bath up dengan air hangat, memasukkan sabun cair ke dalamnya, kemudian yang terakhir adalah menyalakan lilin aromaterapi. Setelah semua selesai, barulah tubuhku masuk ke dalamnya, mencari posisi yang paling nyaman.
Aku memejamkan mata. Pikiranku kembali melayang pada ucapan Alva tadi siang. 'Kau harus bersedia saat aku meminta tubuhmu. Kapanpun dan dimanapun itu!' Begitulah kalimat yang sedari tadi menggangguku. Terdengar sangat kasar dan tidak sopan.
Aku memang belum siap jika Alva akan meminta haknya dalam waktu dekat, mengingat pribadi lelaki itu yang sangat tertutup dan misterius membuatku ragu dengan resiko yang akan kupertanggung jawabkan nanti. Aku belum siap hamil. Aku meragukan semua janji Alva saat meyakinkanku jika semua akan baik-baik saja.
Bahkan kini aku masih mencoba meyakinkan diri sendiri jika ucapan Kak Mira di surat itu benar. Berpikir realistis saja, mana mungkin lelaki bengis itu dapat bersikap lembut kepada Kak Mira, sedangkan kepada aku? tersenyum saja tidak. Padahal aku dan Alva baru bertemu empat hari yang lalu. Jika Alva benar-benar lelaki yang baik, setidaknya aku pasti diperlakukan dengan sama seperti Kak Mira. Apalagi aku adalah mantan calon adik iparnya.
Lalu, apa motivasi Alva yang selalu berbuat kasar kepadaku? Apa karena sifatku yang sangat berbeda dengan Kak Mira? Ah jelas saja, aku tidak bisa disamakan dengannya. Kami jelas berbeda. Dari selera baju saja kami sudah sangat berbeda. Jika aku lebih suka memakai celana, maka berbanding terbalik dengan Kak Mira yang terkesan feminim dengan rok dan dress nya.
"Mika?! Lama sekali?"
Aku tersentak, mendengar pintu kamar mandi yang diketuk kasar oleh Alva. Sebelum hal buruk menimpaku lagi, lebih baik aku cepat-cepat berganti baju, menyisir rambut, lalu memakai kerudung di dalam kamar mandi juga.
"Mika?!" Suara Alva kembali terdengar, membuatku semakin tergesa untuk menyelesaikan kegiatanku.
"Tunggu sebentar."
Aku menghela napas, menetralkan degup jantung yang kembali berpacu cepat. Mendengar suara Alva saja sudah membuatku ingin pingsan. Bagaimana jika, ah tidak. Hentikan pikiran kotormu, Mika! Aku memukul kepalaku sendiri saat otakku sudah mulai memikirkan hal yang tabu.
Setelah menetralkan kegugupan dan rasa takut yang mendera, aku segera membuka pintu yang disambut langsung oleh Alva. Lelaki itu berdiri tepat di hadapanku. "Ck, lama sekali. Kita sudah hampir telat." Aku terdiam, tidak minat untuk sekedar berdehem menjawab omelannya.
Alva berjalan menuju pintu kamar, dan aku masih bergeming sembari membereskan koper milik kami yang tergeletak begitu saja di lantai. Namun lelaki itu lagi-lagi mencegahku dengan menggenggam tangan kananku. Aku terhenyak, merasakan kehangatan dan kenyamanan dalam waktu yang sama. "Sudah tidak ada waktu lagi. Asistenku yang akan merapikan barang-barang kita." Lelaki itu menatapku tajam dengan netra hitam yang menyeramkan.
Aku mengangguk pelan, lalu mengikuti langkah besar Alva menuju pintu kamar dengan sedikit kesusahan. Beruntung sekali saat ini aku sedang tidak memakai rok span, melainkan celana kulot lebar yang dapat memudahkanku untuk mengimbangi langkah Alva.
Kami masuk ke dalam lift untuk menuju basement. Aku menghembuskan napas kasar, di antara kami tidak ada yang berucap sama sekali. Hingga lift kembali terbuka dengan Alva yang masih menggenggam tanganku.
Langkah besar lelaki itu terhenti pada sebuah mobil berwarna hitam yang masih terparkir di sana. Alva membukakan pintu untukku, mengisyaratkan agar aku masuk ke dalamnya. lalu bergantian, ia ikut masuk dan duduk di sampingku.
"Jalan, Joy." Ucap Alva yang hendak menggenggam tanganku kembali namun tubuhku lebih cepat bergerak menjauhinya hingga menempel pada pintu mobil. Aku bisa mendengar umpatan yang keluar dari bibirnya. Tidak lama setelah itu, Alva kembali memelukku, memeluk bahuku.
"Jangan menghindariku, Mika! Kau tahu kan apa resikonya!" Sarkas Alva seraya meremas bahuku sedikit keras, membuatku meringis tertahan. Aku harus bersikap senormal mungkin agar lelaki ini tidak merasa menang.
Aku memutar bola mata dengan malas, lalu menatap tajam lelaki bengis itu. "Aku tidak menghindarimu, Tuan Pemaksa. Aku hanya ingin bersandar di jendela, suasana luar sepertinya jauh lebih menarik daripada dirimu!" Ucapku masih berusaha membalas tatapan tajamnya. Aku memang tidak bisa berbohong jika nyaliku kembali menciut saat melihat rahang Alva yang nampak mengeras seperti menahan amarah.
Prang!!
Benar saja, Alva melempar ponselnya ke sembarang arah hingga terbagi menjadi beberapa keping. Dampaknya, salah satu kepingan itu berhasil mengenai telapak kakiku hingga berdarah. Aku meringis, merasakan perih dan ngilu secara bersamaan. Tanganku bergerak untuk merabanya, merasakan sebuah cairan kental berwarna merah itu membasahi jari-jariku.
"Joy, belikan aku ponsel baru dengan merek dan tipe yang sama." Alva memberikan salah satu black card nya kepada lelaki yang ia panggil 'Joy'. Otomatis rangkulannya di bahuku pun terlepas, aku berusaha menghirup udara sedalam-dalamnya hingga memenuhi rongga paru-paruku. Pasalnya sejak tadi dadaku sudah terasa sesak saat Alva merangkul bahuku dengan erat.
Aku menyandarkan tubuhku pada kursi mobil, membiarkan luka basahku kembali terasa perih. Masa bodoh dengan itu, yang penting sekarang aku bisa bernapas lega. Alva hampir membuatku pingsan karena kesulitan bernapas. Kurasa, menatap jalanan yang begitu ramai di Hari Sabtu ini akan membuatku sedikit tenang. Berdebat dengan Alva membuat tenagaku berkurang sia-sia.
***
si_melon💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Glowing
General Fiction"Wajahmu memang tampan dan bersinar. Tapi tidak dengan hatimu!" *** Spiritual-Romance Mika (22) seorang muslimah yang berprofresi sebagai penjahit terpaksa menikah dengan seorang pengusaha skincare bernama Alva Zerius (30). Kalau bukan karena wasiat...