Desember, 20 1993
Manhattan.Sirene mobil polisi mengaung di tengah malam, menjadi musik menggiring segerombolan orang yang tengah bersitegang menatap peristiwa apa yang mereka saksikan di bawah hujan salju. Begitu juga dengan beberapa Sheriff yang sedang mendongakkan pistol ke arah sebuah phone booth tepat di perempatan jalan. Tepatnya di sanalah ketegangan dimulai.
Dingin ujung pistol melebihi suhu udara menyentuh pelipis seorang gadis, meningkatkan ketakutan dalam dirinya. Sementara seorang pria dengan sebuah revolver, si penyanderanya menunjukkan gestur tenang.
"Coba saja tembak, maka kepala gadis ini akan berlobang." ancamnya, menghisap sebatang rokok lalu dibuang ke aspal sebelum diinjak.
Buncah wajah beberapa Sheriff itu memutar otak untuk bisa melumpuhkan si pria tanpa melukai gadis yang ia sandera.
"Minggir!" titahnya, mengeratkan lengan di leher gadis itu, sementara jarinya siap siaga menekan pelatuk.
Tak ada pilihan selain membebaskan satu penjahat demi menyelamatkan satu korban. Sheriff itu perlahan menurunkan pistol. Senyum timpang terulang di wajah tampan si pria. Dia keluar dari phone booth sambil menyeret sandera. Gesit mata birunya bergerak mengawasi situasi, mungkin saja ada seorang sheriff yang mencuri kesempatan menembak di tengah kelengahannya.
Gadis itu memekik tatkala tubuhnya di dorong masuk ke dalam mobil, disusul si pria tanpa melepaskan moncong pistol dari pelipis sanderanya barang sedetik. Buru-buru menghidupkan mesin, pria itu menyalakan mesin dan menginjak pedal gas. Mobil mercedes-benz melaju dengan membabi-buta di jalan licin bersalju, menabrak sisi-sisi mobil yang menghalangi jalannya.
Instruksi dari seorang sutradara meredakan sandiwara ketegangan yang sedang berlangsung. Pria berseragam Sheriff dan warga sipil yang merupakan figuran dalam sebuah film-serempak memasang muka semringah. Mereka bubar untuk melakukan peran yang lain, karena adegan penculikan seorang gadis oleh pria bersejata di phone booth sudah selesai.
Beberapa kru berlalu lalang menata lokasi. Tak lama, datanglah aktor yang tadi memerankan peran seorang penculik bersama gadis yang menjadi korban. Penata rias menghampiri, merapikan riasan tipis di wajah dan rambutnya sebentar.
"Satu adegan lagi, dan syuting hari ini selesai." ucap pria paruh baya yang mengenakan ivy cap berwarna abu-abu di kepala, dengan kemeja merah kotak-kotak dipadukan celana panjang hitam. Duduk di kursi lipat sambil menatap layar yang menunjukkan hasil rekaman kru kamera.
Sang aktor mengangguk saja. Adegan yang harus ia lakukan selanjutnya lebih sulit dari adegan tadi. Menembak ke belakang sambil berdiri di pintu mobil yang terbuka dalam aksi kejar-kejaran antara penculik dan beberapa oleh Sheriff.
Bukannya mereka tidak memiliki stuntman untuk menggantikan aktor saat melakukan adegan berbahaya, tetapi si aktor yang ingin melakukan adegannya sendiri. Alasannya untuk lebih mendalami peran. Meski sempat ditentang oleh manager juga sang sutradara, mereka tak dapat mengurungkan kehendaknya.
Begitu urusan penampilan penampilannya selesai, pemuda itu menghampiri gadis yang menjadi lawan mainnya dalam film ini.
"Apa tadi aku mendorongmu terlalu kasar?" tanyanya, mengecek pergelangan tangan gadis cantik berambut coklat sepunggung.
Alice, nama gadis itu, menatap si pemuda setelah pergelangan tangannya digenggam lembut.
"Tidak, lagipula aku suka caramu, sangat menjiwai." balasnya, menatap lekat mata biru si pemuda.
Joey tersenyum. "Kau jangan terlalu memujiku, nanti aku besar kepala." katanya, diakhiri kekehan renyah.
Keduanya bercakap beberapa kata lagi, kemudian melanjutkan pengambilan adegan terakhir untuk syuting hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE [MENxBOY]
De TodoLIMERENCE is a dark side story of SUGAR DADDY Terlepas dari dunia melihat hidupnya yang sempurna sebagai aktor multitalent, Joey Carter menjalani kehidupan ganda sejak terlahir ke dunia. Menjadi pelihara Domenico Cassano---Boss mafia 'Ndrangheta---m...