Pemanggang bundar berdesis saat beberapa lembar daging domba yang diiris tipis diletakkan di atasnya. Aroma wijen yang kuat memenuhi udara ketika saus yang dibuat dengan shoyu atau kecap asin dicampur mirin, gula, bawang putih, minyak wijen, dan biji wijen yang sudah disangrai-dibubuhi di atas daging.
Yakiniku West yang terletak di 218 E 9th St, New York. Sudah mau tutup ketika kedatangan dua pelanggan menjelang tengah malam. Si pemilik yang sudah akrab dengan si pelanggan tersebut langsung mempersilahkan mereka.
Di meja paling pojokan, dua orang lelaki beda usia saling berhadapan sambil memasak yakiniku beef.
Si pria memulai pembicaraan, "Aku menonton wawancaramu di televisi,"
"Hmmn ..." sahut si pemuda. Hanya mereka pelanggan di restoran yakiniku khas Jepang itu.
Di tengah padatnya jadwal, keduanya selalu menyempatkan waktu makan bersama. Bercerita mengenai aktivitas sehari-hari meski alurnya selalu monoton sambil bertukar pikiran, diselingi ejek berakhir dengan tawa. Biasanya Sheira, Janet dan beberapa orang ikut. Namun, awal tahun ini jadwal mereka padat dari hari biasa, sehingga hanya ada sutradara dan aktornya.
"Apa benar, kau belum punya kesiapan untuk berakting di layar lebar?" tanya Charlie tanpa menatap Joey.
Joey mengedikkan bahu. "Entahlah," jawabnya singkat.
"Entah?" Satu alis Charlie terangkat, "Keputusan ada padamu, dan kualitas aktingmu sudah lebih dari cukup untuk diasah ke layar lebar."
Joey menatap Charlie sebentar, dan kembali mengamati daging setengah matang di atas panggangan. "Memangnya kau mau mengajakku berakting di layar lebar?" Tangannya mengambil jepitan, menunggu daging siap dibalik.
Giliran Charlie yang menatap Joey. "Untuk ke depannya? Ya. Sekarang kau tahu sendiri, aku punya beberapa kerjasama proyek serial televisi yang belum selesai." Dia masih menatap si pemuda, melihat ketidaksabaran yang terpancar dari mata biru yang terus menunggu dagingnya matang merata. "Bagaimana, kau mau?"
"Sekarang aku tertarik. Ke depannya, aku tidak menjamin kalau aku tidak akan berubah pikiran," ucap Joey, melirik Charlie tanpa mengangkat wajah dari daging yang sebentar lagi matang.
"Cih," Satu decakan terdengar, dari pihak Charlie. Begitu daging berwarna coklat pudar, tangan pria itu gesit merebutnya lebih dulu dari Joey yang sudah menargetkan untuk dia makan sedari tadi.
"Dagingku!" seru Joey, menatap tak rela saat potongan yang pertama matang-masuk ke mulut Charlie yang menyunggingkan senyum miring sambil mengunyah dagingnya.
"Kau yang lambat," ejek pria itu. Senyum miring kepada Joey yang sekarang merengut kepadanya. Namun, di detik berikutnya senyum Charlie memudar, digantikan ekspresi serius. Ada bercak merah sedikit kebiruan di sekitar leher dekat tengkuk kiri Joey.
Charlie bertanya, "Kau bertemu dengannya lagi?"
Mengetahui ke mana atensi pria itu tertuju, Joey buru-buru membenarkan kerah kemeja biru berlapis sweater yang dipakainya. Kedua tangan mengancing dua kancing atas sampai tanda itu sudah tak tampak tertutup kerah. "Dia datang ke apartemenku minggu kemarin," ungkap Joey pelan.
Charlie kembali bertanya, "Apa dia menyakitimu lagi?" Nadanya tegas.
Menggeleng lebih dulu. "Tidak, tidak juga. Lagipula aku yang memulainya." Joey menunduk, untuk sesaat tidak berani menatap wajah Charlie.
"Apa kau membutuhkan apartemen? Untuk pindah dari sana." Charlie merasa perlu untuk menanyakannya.
"Terima kasih, Charlie. Tapi, kurasa tidak perlu," tolak Joey diakhiri senyum tipis. Dia melanjutkan, "Berapa kali pun aku pindah, dia selalu berhasil menemukanku. Kupikir, dengan dia bilang kalau di kakiku ada rantai yang selalu tersambung dengan tangannya, itu benar adanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE [MENxBOY]
DiversosLIMERENCE is a dark side story of SUGAR DADDY Terlepas dari dunia melihat hidupnya yang sempurna sebagai aktor multitalent, Joey Carter menjalani kehidupan ganda sejak terlahir ke dunia. Menjadi pelihara Domenico Cassano---Boss mafia 'Ndrangheta---m...