RIRI berjalan gontai di tengah lorong rumahnya. Pikirannya jauh lebih berkecamuk dari sebelum dirinya pergi.
"Dari mana saja kamu?" Langkah Riri terhenti ketika mendengar suara yang Dia benci. Riri berbalik badan, menatap orang didepannya dengan tatapan jenaka. "Ngapain peduli?" Jawabnya enteng. Seketika orang itu mendekat kepada Riri.
"Papa, nggak pernah ngajarin kamu buat nggak sopan seperti ini"
Jonathan Megantara, orang yang paling Riri benci didunia. Wajahnya yang tampan membuat Riri muak. Kehadiran orang itu secara tiba-tiba, masih membuat Riri tidak bisa menerima kenyataan. Kenyataan bahwa orang inilah yang berhasil membuat dirinya membenci Ibunya sendiri.
"Emang Lo pernah ngajarin Gue?" Lelaki itu semakin mengerutkan keningnya. "Kamu ditanya baik-baik sama Papa loh Ri, kamu gaboleh kurang ajar sama orang tua kamu sendiri" orang yang lebih tua menunjuk Riri.
Riri semakin menegapkan bahunya. "Siapa? Orang tua? Jangan mimpi. Lo aja bukan bapak Gue" Riri berkata dengan nada mengejek.
"Lo itu manusia yang entah darimana asalnya datang di kehidupan Gue, dengan semena-mena ngerebut kebahagiaan Gue. Trus tiba-tiba dengan gampangnya nyuruh-nyuruh Gue, dengan embel-embel sebagai orang tua. Gue tanya sejak kapan Gue pernah menganggap Lo itu bapak Gue? Kapan? Sejak kapan? Ngimpi Lo?"
"Gak beres kamu, Ri"
"Elu yang gak beres, Jonathan"
"Kamu berani-beraninya ya!"
"Apa? Jangan sok-sokan bakalan dibelain Ibu, Lo jadi sombong" Riri menunjuk Jonathan tepat didadanya.
"Papa itu peduli sama kamu, ngerti?"
"Nggak, soalnya Gue nggak pernah peduli sama kehadiran Lo disini"
"Apapun itu, Papa cuma pengen perhatian sama kamu. Kamu kenapa jadi marah sama Papa? Kamu jangan jadi egois, Papa itu kepikiran, anak Papa belum pulang jam segini. Kamu pikir jadi orang tua enak gitu?"
"Lo pikir jadi Gue enak?! GAENAK! GUE DISIKSA NGERTI? GUE DITEKAN SAMA KEHADIRAN LO DISINI. LO NGERTI NGGAK?!" Mata Riri semakin nyalang. Entah bagaimana, tapi Riri tidak bisa menangis. Mungkin juga dirinya sudah terlalu bosan untuk menangis.
"DAN SATU LAGI, GUE BUKAN ANAK LU!" Riri berbalik badan. Namun setelahnya Dia dihadapkan oleh satu manusia yang menjengkelkan lagi. Padma Kahiyang sedang berdiri didepannya. Namun tanpa ragu Riri tetap melangkah.
"Ibu setuju sama Papa kamu. Kamu itu egois Riri" gadis itu mengehentikan langkahnya lagi. Ada rasa sayatan di hatinya. Seketika air matanya turun.
"Kamu bertindak kayak begini itu, nggak mikirin orang disekitar kamu gitu? Kamu lihat mereka-mereka yang akhirnya kena imbas perbuatan nggak bergunamu" Ibu menunjuk beberapa pelayan, termasuk Teh Vida, sedang duduk bersimpuh. Mereka memiliki luka diujung bibir. Teh Vida tersenyum ke arah Riri. Dan bergumam tanpa suara, "I'm okay. You do your best" seketika rasa bersalah menyeruak dihati Riri. "I'm sorry" Riri ikut bergumam. Teh Vida tersenyum dan menggeleng, Dia mengacung jempolnya secara sembunyi-sembunyi.
"Coba difikir, kamu itu cewek. Masih gadis. Ibu tau kamu udah besar, tapi kamu itu cewek Ri. Kamu pikir siapa yang nggak khawatir anak ceweknya keluar tengah malem kayak begini. Pantas kah kamu kayak begitu?"
Riri menatap ibunya dengan nyalang. "Trus, apa kabar Ibu? Pantaskah dirumah Ayah Saya, berduaan sama lelaki yang entah datangnya dari mana tiba-tiba ada. Padahal sudah berstatus sebagai istri Ayah saya, pantas?!"
Ibu menghembuskan nafasnya, "ini lagi, ini lagi. Ibu udah bilang Riri, itu Ibu lagi ngurusin pekerjaan!"
"PEKERJAAN APA YANG DILAKUIN DIKAMAR? PEKERJAAN APA YANG SAMPE PERGI CUMA BERDUA, NGINEP BERDUA. PEKERJAAN APA? SELINGKUH?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Pandora Masalalu
Teen FictionBacalah, setidaknya kalian mengerti, mengapa kematian seseorang bukan akhir dari segalanya. Bisa jadi, awal dari segalanya. Kedua, setidaknya kalian tahu, perasaan mungkin tidak bisa diutarakan. Melainkan dapat dibuktikan, tanpa ada ucapan, hadiah...