HARI kedua MOS, Riri menguap. Matanya sayu dan bengkak, badannya sedikit lemas. Dia bersandar batang pohon beringin yang ada dibelakangnya. Sedari tadi Dia hanya ikut mengawasi kegiatan ini sembari menahan kantuk. Untungnya hari ini berjalan lebih terstruktur daripada hari sebelumnya.
Gadis itu memejamkan mata, berniat melampiaskan kantuknya yang tidak kunjung hilang. Tangannya bergerak membenarkan kacamata hitamnya yang melorot. Bukannya apa Dia menggunakan ini, tapi mata bengkaknya tidak kunjung hilang. Riri jelas malu jika orang lain melihatnya.
Gadis itu menikmati ketenangannya sembari bersedekap. Semilir angin membuat kantuknya semakin sempurna.
"Bu, ini barang sitaannya taruh mana?" Dan boom, suara jahanam Nopa terdengar. Riri hanya bisa menahan amarahnya, Dia sudah hampir tertidur, ayolah! Ya walaupun dengan berdiri.
Riri berdiri tegak, mengambil sebuah cermin dari tangan Nopa. Membuka kacamatanya dan bekaca. "Anjirr.. sampe kapan sih!" Kesalnya.
"Lo kenapa njir?!" Nopa menangkup wajah Riri setelah sadar dengan mata bengkaknya. Riri jelas menepis tangan sahabatnya. "Lo apaan sih Nopa, Gue gapapa" Riri menggerutu kesal. Nopa menunjuk wajah Riri, "Lo ini ye, DIFIKIR GUE BARU KENAL LO KEMAREN HAH?!" seruan Nopa berhasil membuat beberapa atensi orang disekitarnya beralih.
"Jangan keras-keras dong" Riri mencengkeram tangan Nopa. "Lagian juga Gue gak kenapa-kenapa" sambungnya.
"Gedeg Gue, Ri, sama Lo"
"Sama Gue juga, udah deh Lo sana aja! Taruh di ruangan kita aja barang ini. Suruh mereka ambil nanti pulang sekolah" Riri membuat gerakan mengusir. "Ngapain dibalikin sih Buk" Nopa merebut cermin ditangan Riri. "Heh! Lo mau ganti rugi berpuluh-puluh juta buat nih barang" Riri menunjuk keranjang di tangan Nopa, yang penuh barang sitaan.
"Ck lagian ngapain juga sih bawa beginian ke sekolah, Gue korupsi mampusin gak tuh" gerutu Nopa. "Hilih kek Lo suci aja Nop Nop, dah sana Lo! Gue mau cuci muka" Nopa menatapnya sinis.
Setelah kepergian Nopa, Riri juga ikut pergi sembari memasang kembali kacamata hitamnya. Dan tanpa sadar ada yang mengamatinya dari lantai atas.
***
Mata Alaska sejak lima belas menit tadi tidak beralih dari sosok Riri. Cowok itu mengamati Riri yang bergerak gusar dibawah sana. Kedua tangannya Dia lipat di atas tembok batas. Otaknya memutar kembali memori tadi malam.
Alaska memandangi mobil Riri yang keluar dari gerbang rumahnya. Dia duduk diatas motor besarnya. Cowok itu juga tahu, bahwasanya sudah terjadi sesuatu dengan cewek itu. Tapi malam itu Alaska hanya berharap, ucapannya benar-benar ditanggapi oleh Riri. Dan akhirnya Alaska memutuskan untuk menancap gas, mengikuti mobil Riri. Walaupun Dia sudah bisa menebak dimana Riri akan tinggal.
Deg
Alaska merasakan jantungnya berdegup lebih kencang saat melihat Riri yang sedang menyandarkan punggungnya ke batang pohon. Semilir angin menggerakkan rambut-rambutnya. Dan Alaska tiba-tiba berfikir, bahwa ini adalah pemandangan yang sangat indah. Kulit putih Riri, tampak jelas dibawah sinar matahari. Postur tubuhnya tampak begitu pas disana. Ini sempurna. Pertanyaannya, apakah Alaska jatuh hati? Secepat ini?
Tidak perduli, Alaska tidak boleh mempunyai perasaan sedikitpun dengan Riri. Bagaimana bisa Dia punya perasaan dengan orang yang dicintai sahabatnya? Gila.
"Nak Alaska" saat pikirannya sedang berkecamuk, suara guru menginterupsinya. Alaska menoleh, Dia menemukan sosok guru cantik berdiri dihadapannya. Dia tersenyum ramah, Bu Teresa namanya. Guru muda yang bertugas sebagai guru seni.
"Iya Bu?" Alaska menjawab dengan sopan.
"Bisa Ibu bicara sebentar?" Wanita itu masih senantiasa tersenyum. Alaska tetap mengangguk, walaupun merasa adanya sebuah gelagat aneh dari gurunya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Pandora Masalalu
Teen FictionBacalah, setidaknya kalian mengerti, mengapa kematian seseorang bukan akhir dari segalanya. Bisa jadi, awal dari segalanya. Kedua, setidaknya kalian tahu, perasaan mungkin tidak bisa diutarakan. Melainkan dapat dibuktikan, tanpa ada ucapan, hadiah...