Lagi-lagi pilihannya jatuh di rooftop untuk menenangkan diri. Padahal baru saja dirinya melihat dilayar ponselnya, sekarang waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Dan besok seharusnya Riri masih ada jadwal untuk mengikuti lomba hari kedua sebelum nanti seleksi untuk karantina.
Justru cewek itu nangkring disini, dengan segelas lemon hangat ditangannya. Riri sekarang jauh lebih bisa mempunyai waktu untuk dirinya merenung. Biasanya jam segini Riri hanya bisa berbaring sembari memandangi langit jadi pintu kaca balkon. Atau tidak dirinya menghabiskan malam dengan tumpukan buku.
Riri tersenyum tipis, gadis itu senang bisa melihat langit dengan puas sesuai keinginannya sampai kapanpun. Namun gadis itu tetap rindu suasana rumah. Masakan Mbok Tuti, cek-cok antara Mbok Tuti dan Mbak Rini. Omelan Teh Vida, suasana kamar luas dan sepinya. Riri juga rindu dengan Dev, adik tirinya yang sangat tampan itu. Ah Riri takut jika-jika Dev tiba-tiba juga balik merindukan dirinya. Jelas Riri yakin Dev rindu waktu-waktu dimana Riri, Dev, dan Ara menikmati jajanan ditengah malam, ditempat walk in closet milik Riri.
Gadis itu tersenyum manis mengingatnya, sebenci apapun dirinya dengan Jonathan, Riri tidak bisa benci dengan Dev. Riri sudah jatuh cinta dengan Dev, saat bayi anak itu menatap dirinya. Seakan dihipnotis, Riri langsung jatuh hati. Padahal maunya adalah, dirinya dan Ara berlaku jahat seperti di sinetron-sinetron.
Oh ya, berbicara tentang Ara, Riri juga rindu sekali dengan omelan kembarannya itu. Tanpa berfikir panjang Riri menelpon nomor Ara.
Sambungan tersambung, "Halo?" Bukannya jawaban yang Dia dapat. Riri justru mendengar suara gedebukan, gaduh dari arah sebrang.
"Iya, Ri" Ara menjawabnya dengan sedikit ngos-ngosan. "Lo habis ngapain?" Tanya Riri heran. Lagi-lagi bukannya jawaban, Riri justru mendengar suara Dev yang terkejut.
"KAK ARDHI?!" itu suara Dev. Riri langsung merekahkan senyumnya lebih lebar.
"Iya, kenapa Dev..?"
"Huaaa kakak.. huaaaa jahatt" senyum Riri berubah menjadi tawa, Riri mendengar adik cowok nya itu menangis sesenggukan. Terdengar juga suara Ara yang tidak kalah parau. Riri malah semakin ngakak sendiri. Tanpa sadar sedari tadi ada yang memperhatikannya dari arah sudut.
"Udah dong, jangan nangis semua! Gue nih telfon bukan buat dengerin tangisan kalian"
"HABIS LO JAHAT ANJING! HUAAAA"
Riri tidak habis pikir dengan adik-adiknya itu. Sudah berapa lama mereka tidak tukar kabar pun Riri tidak tahu. Sebab ya itulah, memang Riri sibuk mempersiapkan diri untuk perlombaan.
Riri sebenarnya ingin mencurahkan isi hatinya. Namun biarlah hari ini menjadi hari mereka ngomel sepuasnya. Riri senang, Riri rindu itu, kapan lagi Dia bisa mendengan Devaza Kasatria Pamungkas menangis sesenggukan? Hingga kurang lebih satu jam Riri mendengar itu semua, Adiknya langsung memutuskan panggilan secara sepihak karena ada asisten mereka yang masuk tiba-tiba. Riri tersenyum lega kali ini, tanpa ragu langsung saja Riri memutuskan untuk beranjak, Riri tetap sadar besok masih ada hari. Oleh karena itu dirinya harus kembali dan istirahat.
Namun sesosok disudut sana membuatnya menyipitkan mata. Sosok itu tertawa kecil, dan menghampiri Riri. Setelah sedikit lebih mendekat Riri sadar bahwa itu adalah cowok prostitusi. Jika awalnya Riri menemukannya berkostum layaknya mafia, dan hari-hari setelahnya dengan kostum berbeda-beda, hari ini cowok itu terlihat mentereng dengan outfit serba warna kue. Riri tertawa, rupanya hari ini dirinya mendapat request menjadi cowok kue.
"Hari ini, request nya jadi cowo kue ya?"
Cowok itu memutar matanya jengah, "Gue bisa apa gurl? Harus manut" mereka berdua tertawa bersama. Setelah hari pertama mereka bertemu, beberapa hari setelahnya Riri baru tahu cowok itu bernama lengkap Bumantra Leora Terra. Nama cantik menurutnya, namun cocok diberikan untuk anak cewek. Dan Mantra (begitu Riri memanggilnya) sendiri sering mendapat ejekan karena namanya. Mantra menyebut dirinya adalah manusia seribu panggilan, karena namanya yang sulit untuk diingat dan dijadikan panggilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Pandora Masalalu
Teen FictionBacalah, setidaknya kalian mengerti, mengapa kematian seseorang bukan akhir dari segalanya. Bisa jadi, awal dari segalanya. Kedua, setidaknya kalian tahu, perasaan mungkin tidak bisa diutarakan. Melainkan dapat dibuktikan, tanpa ada ucapan, hadiah...