Pagi hari. selimut terasa dingin. Tubuhku terasa gatal karena aku tidak sempat mandi saat pulang kemarin malam, bau keringat memenuhi ruangan. Dari luar rumah suara berisik terdengar sampai ke kamar, menggedor pintu diiringi lontaran kata yang tidak enak didengar; mengusik diriku untuk memeriksa dan beranjak dari tempat tidur.
Aku melihat ayah di ruang keluarga, duduk di lantai, di bawah sofa, menonton televisi dengan wajah pilu seperti biasa, kantung matanya membesar mengindikasikan ia terjaga semalaman; acara yang ia tonton selalu sama dari televisi yang malfungsi, hanya ada bercak-bercak kecil dan suara nyaring seperti kaset rusak.
Gedoran pintu semakin banter mengalahkan suara televisi. Dari luar dua pria berteriak, "Buka pintunya! atau kami dobrak!" Aku berjalan kearahnya memintanya untuk tenang karena aku akan membukakan pintunya. Salah satu pria berteriak untuk menyuruhku bergegas.
Saat aku membuka pintu, untuk sekilas aku melihat wajah dua orang pria dengan perawakan kekar, yang satu memiliki brewok dan satunya terlihat modis dengan tatoo di lehernya; mereka mendorongku sampai terjatuh begitu aku membuka pintu.
Mereka berlari kearah ayah lalu menendang dadanya dengan telak sampai terlontar, tubuhnya menghantam tembok mengeluarkan suara sesak pada tenggorokan nya. Lalu aku berlari menuju ke orang yang menendangnya; namun saat aku hendak melayangkan tinjuku orang dengan setelan modis memukul wajahku hingga aku terpental beberapa meter.
Untuk beberapa saat aku merasa kehilangan kesadaran lalu aku menguatkan diri untuk bangkit menahan nyeri yang kurasakan. Dalam beberapa detik mereka memukuli ayah membabi buta tanpa dibiarkan untuk bernafas, aku mencoba untuk membantunya namun aku dihantam dengan vas bunga hingga pecah dan kepalaku mengucurkan darah.
Aku berteriak meminta tolong pada tetangga namun apa yang kudapatkan hanya terekam oleh kamera menjadi video edukasi; setelahnya aku yakin diiringi lagu-lagu religi. Setelah puas memukuli ayah mereka meminta untuk segera membayar hutangnya, mereka mendesak kami berdua untuk membayarnya bulan depan, lalu mereka pergi, tontonan habis, semua orang pergi, meninggalkan kita berdua yang tergeletak di lantai dingin dengan darah yang membeku.
Aku memapah ayah untuk berbaring di sofa, ia sangat lemas kehilangan banyak darah lalu aku pergi mengambil kotak peralatan P3K. Aku mengelap lukanya, merebahkan tubuhnya, memberinya minum, lalu memasak sesuatu untuk dimakan.
Setelah selesai makan ia kembali menonton televisi, aku sangat ingin memperbaiki televisi yang rusak itu namun ia selalu bilang padaku untuk tidak memperbaikinya dan aku tidak mengerti. Aku mandi untuk membilas luka lalu memakai seragam untuk berangkat bekerja.
Dari atas laci ada sebungkus rokok dan korek yang aku letakkan disitu, aku biasa menggunakannya saat pulang kerja. Aku ambil satu batang rokok, berjalan kearah ayah dan meletakan rokok pada mulutnya lalu aku menyulutkan api pada rokok yang aku taruh di mulutnya. Setelah itu aku pamit untuk bekerja.
Cukup; aku sudah cukup dengan tangisan karena air mataku telah terkuras kering; aku sudah cukup dengan amarah karena api di dalam diriku telah membakar segalanya hingga menjadi abu; aku sudah cukup dengan harapan karena tidak ada yang kuharapkan; aku sudah cukup dengan kehilangan karena pada akhirnya aku akan menghilang; aku sudah cukup dengan kesepian karena aku sadar hanya aku satu-satunya teman; aku bukanlah seorang prajurit yang bertarung di garis depan yang sudah cukup dengan kehidupan, aku adalah mesin yang didesain untuk menghancurkan diri.
Bagi mereka yang telah kehilangan segalanya berjalan memasuki kabut ke tempat dimana cahaya menjadi muram hingga mereka kehilangan pikiran menyerahkan hidup pada kematian, bisakah cinta menyelamatkannya?
Wujud abu-abu itu, apa yang bisa dilakukan oleh wujud abu-abu itu!
Willy adalah orang payah yang merasa cukup. Hanya itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kewarasannya. Dari sela-sela kecukupannya mulai tumbuh rasa cinta saat dia masih kelas 2 Sma—dua tahun yang lalu berat baginya karena sebuah tragedi yang menewaskan ibunya. Dampaknya sangat parah bukan hanya pada Willy tapi juga adik dan ayahnya.
Pukul 09:00 Pagi. Aku terlambat. Sudah pasti 'dia' juga sudah berangkat duluan, wanita yang aku suka sejak Sma.
Namanya Dea, umur 20 tahun seorang mahasiswi, tingginya 165 cm, dengan tubuh langsing dan payudara yang kencang. Rambutnya panjang dan lurus berwarna hitam dengan sedikit berwarna biru pada bagian sampingnya; yang terkesan kekinian itu, entah aku tidak tahu model macam apa namun itu tidak penting karena apapun pasti cocok untuknya. Kulitnya putih mulus sehalus mentega, warna matanya cokelat gelap memakai lensa kontak berwarna biru.
Aku melintasi jalan yang biasa aku lewati dimana saat pagi ada pedagang sayur keliling mengetem di pinggir perempatan jalan. Beberapa ibu-ibu mengerumuninya sambil mencuitkan beragam informasi panas yang sebelumnya sudah disiapkan dengan matang. 'Dia' ke stasiun biasanya melewati jalan ini, menyapa ibu-ibu yang sedang berbelanja ditanggapi dengan senyum terbuka.
Dari kejauhan aku melihat seorang wanita berlari ke arahku...
Pikiranku menyangkal perasaanku namun dalam benak aku berharap kumohon itu 'Dia'.
Gadis itu melambai dengan meneriakkan namaku dari jauh sejurus hatiku berdegup kencang karena aku kenal suara itu. Begitu gadis itu menyebutkan namaku ibu-ibu yang sedang asyik berkicau sontak melihat kearahku, dengan salah satu dari mereka yang mendengar permasalahan keluarga kami menggerakkan impuls dalam sarafnya untuk mencabuli urusan keluargaku, oleh sebab ayah pernah berhutang padanya dia menaruh dendam pada keluargaku.
Tidak kuambil pusing, aku hanya butuh Dea dalam dunia ini.
"Willy," dea perlahan berlari kearahku, "kamu melihat ada Flashdisk yang tergeletak di jalan?" Rambutnya terurai seperti iklan Shampoo, baunya benar-benar harum membuatku ingin mengendus udara disekitarnya dan kulihat boing-boing saat dia berlari...
Dari dulu dia selalu menganggapku teman, waktu itu aku benar-benar bersyukur hanya dengan menjadi temannya, bukan berarti aku tidak memiliki teman sampai harus bersyukur hanya saja wanita sepertinya terlalu sempurna untuk dijadikan teman. Aku tidak pernah jujur dengannya karena rasa takut untuk kehilangan sosoknya dalam hidupku. Aku terlalu munafik untuk merasa puas, suatu hari, kucoba beranikan diri!
"Aku ingat melihatnya tergeletak di jalan namun tidak kuambil, aku tidak begitu ingat, bagaimana jika aku membantu untuk mencarinya?"
"Oke, jika kamu tidak keberatan." Bibir indah menawan dengan lipstik tipis terlihat ajaib dimataku, memberikan kesan suci dan mulus.
Aku berharap Flashdisk itu hilang untuk waktu yang lama supaya aku bisa tetap bersama Dea.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Button
FantasyTombol kehancuran dunia berada di depanku dengan janji bahwa aku akan hidup, di sisi lain tombol untuk menyelamatkan dunia berada di sampingnya, namun, aku harus mengorbankan diri untuk menyelamatkan dunia. Apa yang harus aku pilih, keselamatan duni...