Bab 4

38 19 7
                                    

Kedua pasangan tua duduk di depanku dengan keriput di wajah dan rambutnya yang memutih, pria tua mengenakan kemeja dan kebaya pada si wanita tua, membicarakan tentang pernikahan anak mereka di kota.

Beberapa remaja SMP bersenda gurau tanpa memperdulikan orang-orang yang ada disekitarnya yang menunggu dengan tenang pemberhentian stasiun selanjutnya. Seorang wanita dengan seragam PNS menegur mereka untuk diam karena dapat mengganggu orang-orang namun mereka semakin menggila.

Beberapa orang yang tidak kebagian tempat duduk, berdiri dengan penyangga pada langit-langit kereta. Seringkali mereka oleng; saling menyenggol satu sama lain. 

Dea duduk disampingku, mengenakan celana jeans hitam dan sneakers putih, kemeja besar yang melebihi ukuran tubuhnya dengan kancing yang dibiarkan terbuka dan kaos biasa berwarna putih membungkus sempurna buah dadanya, rambutnya dibiarkan terurai, "Memangnya apa isi Flashdisk itu, apa itu sangat penting?" tanyaku penasaran.

Dea terlihat lega karena telah menemukan Flashdisk nya.

Benda itu tergeletak di dekat tiang listrik, sesuai ingatanku, untung saja tidak ada yang mengambilnya.

"Itu berisi file penting tentang studi yang aku pelajari," menghela nafas, "tanpa itu aku tidak bisa mengikuti kelas." Dia sangat berterimakasih padaku dan aku senang bisa membantunya.

Dea menatap kearahku, aku malu dan memalingkan muka, "Willy, kemarin kamu kemana? aku tidak lihat kamu saat lewat depan rumah mu."

"Ah, aku kesiangan, berangkat pake motor." Dea mengangguk, melihat lebih dekat, berkata, "Pipi kamu kenapa, kamu berkelahi ya?"

"Ini aku... jatuh dari kasur," mencari alasan spontan.

Dea menyentuh wajahku yang lebam itu, "Aww!" meringis aku kesakitan.

"Aduh maaf ya... duhh pasti sakit ya," menatapku dengan cemas kemudian berkata, "Saat sampai di stasiun aku akan mengobatinya."

"Tidak, tidak usah. Aku baik-baik saja."

"Harus, pokoknya harus! titik." Ucapnya dengan muka masam.

"Tapi Dea, sungguh... Aku tidak apa, ini sudah jam sembilan lewat, aku sudah telat dua jam, aku berterimakasih karena kebaikan mu jadi..."

"Kamu pulang jam berapa?"

"Jam sembilan malam."

"Aku akan menunggu..." kemudian dia melanjutkan, "aku pulang sore." Dia ingin menunggu? apa dia gila.

"Apa yang membuatmu bersikeras seperti itu."

Mukanya memerah, memalingkan muka, berkata dengan pelan, "Karena aku..." suara pengumuman terdengar di sepanjang lorong kereta, [PERHATIAN UNTUK PARA PENUMPANG DALAM BEBERAPA MENIT AKAN TIBA DI STASIUN...]

Itu adalah tempat pemberhentianku berbeda dengan kampus Dea yang masih berada di depan. Semua orang merangsek untuk keluar, namun, biarkan aku menjadi yang terakhir untuk keluar agar bisa duduk di sampingnya sedikit lebih lama.

"Willy, ada yang ingin aku bicarakan dengan mu," aku bilang bicara saja, di sini, dia melanjutkan, "bukan begitu," wajahnya memerah, melihat kebawah, "aku ingin... kita berdua... hanya kita berdua!"

"O-oke aku juga memiliki sesuatu untuk disampaikan," lalu aku melanjutkan, "baiklah, aku harus pergi... bye!" Aku melambai.

"O-oke bye!" Dea juga melambai.

Sesampainya di Minimarket tempat aku bekerja. Untuk sekian lama akhirnya! ada karyawan baru. Dua orang, satu laki-laki dan perempuan. Kepala toko akan mengurusnya untuk mengajarinya beberapa hal dan membuat mereka senyaman mungkin. Aku juga harus ikut andil, untuk membuat mereka merasa nyaman karena akan menjadi masalah jika mereka berhenti, akan ku usahakan supaya mereka kecanduan bekerja!

Senyum adalah yang paling penting.

Kepala toko memarahiku karena terlambat 2 jam 30 menit, aku menjelaskan bahwa aku membantu seseorang untuk menemukan Flashdisk, ia malah tambah geram. Psikopat itu, aku yakin! Akan terus menatapku dengan penuh dendam. Kecuali, aku memujinya terus-terusan.

Aku melihat Stella yang mengambil alih posisi ku, setelah itu aku menyuruhnya untuk kembali pada tugasnya. Dia menatapku dan bilang, "Senior! Ada yang aneh darimu..." Menyipitkan matanya.

"Benarkah?" 

"Yah aku rasa, mata mu terlihat seperti... manusia! ya! M-A-N-U-S-I-A"

"Kau anggap aku ini apa?" aku menghela nafas, aku menjitak kepalanya, "dan jangan panggil aku senior."

Stella menahan udara pada mulutnya, "Hmpp! ini kan di tempat kerja," Stella berkata dengan pelan, "Aku yakin pasti terjadi sesuatu," Stella berjalan mendekat kearahku, "Senior, ada apa dengan wajah mu? Apa itu sakit?"

Dua kali seorang gadis mencemaskan keadaan ku. Mungkin ide bagus untuk meng-cosplay diriku dengan gips atau perban pada kepalaku.

"Ah, sebenarnya aku terpeleset saat mengepel lantai." Bualan spontan.

"Kok bisa? adik ku yang masih kecil saja berselancar dengan tubuh telanjang."

"Oi! rumah itu kalian anggap apa? dan bagaimana dengan Ibu mu apa dia baik-baik saja?"

Aku tidak bisa membayangkan seluruh keluarganya juga ikutan! 

Aku bekerja seperti biasa, melayani konsumen yang ingin membayar, mendengar ocehan Chief Gio, mendapat keluhan konsumen, terkadang juga menjadi penengah dari konflik di antara mereka karena salah satunya menyerobot antrean.

Hingga pada malam hari, kali ini aku berjalan kaki sampai ke stasiun. Terpancar kekecewaan dari raut wajah Stella. Stella menuju kearahku... "Senior, boleh aku minta nomor telfon kamu?"

"Boleh kok, tapi untuk apa," jawabku.

Wajah stella memerah, diam, membuang wajahnya... Kemudian dia berbicara tanpa menatapku, "Kau tukang molor! A-aku akan membangunkan mu di pagi hari!!!" Aku memberikan nomor telfon ku dan dia terlihat senang.

Dan, tiba-tiba saja cahaya terang datang dari atas kepalaku, itu sangat teramat terang sehingga aku tidak dapat melihat apa-apa.

Aku tidak tahu dengan nasib Stella yang berada disampingku, tubuhku seperti tersedot naik, perhatianku tersita cukup untuk diriku sendiri dan keanehan yang sedang kualami.

Aku merasa mendengar suara Dea...

Meneriakkan namaku...

Hingga suara itu semakin pudar...

Tanpa sadar aku memejamkan mata dan setelah aku membukanya....

The ButtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang