Episode 1 - Kontras

5 2 0
                                    

    "Dik, nongki nanti yak. Capek gue kerja." Kata Rian kepada Diksa.

    Di sebuah kota besar yang kemakmuran sudah di atas rata-rata, hiduplah seorang laki-laki yang sangat tekun dengan pekerjaannya. Pekerjaannya hanya duduk di kantor dengan berkutat di depan layar komputer secara monoton sepanjang hari. Rasa pegal di punggung dan pantat tentu tidak dapat dia singkirkan. Pakaian formal yang membosankan terus dia kenakan setiap harinya, dasi berwarna hitam dengan kemeja berwarna putih, dan dilengkapi dengan celana hitam panjang yang ada bekas jahitan di lutut sebelah kirinya.

    Laki-laki itu baru bekerja di perusahaan yang bisa dibilang cukup menjajikan untuk mengambangkan karirnya, namun dia merasa bukan ini sesuatu yang ingin dia lakukan. Dia selalu mengandaikan dirinya itu seperti burung dalam sangkar ketika bekerja. Burung dalam sangkar memang sering mengeluarkan suara yang indah dan seakan menari namun kita tidak tahu bahwa sebenarnya burung itu menangis dan memberi isyarat untuk dilepaskan. Laki-laki itu pun juga, dia mengerjakan pekerjaannya dengan baik dan tidak pernah mengeluh untuk melakukan sesuatu. Namun yang orang lain tidak tahu adalah laki-laki itu tidak mencintai pekerjaannya.

    "Diksa, minggu depan kamu ikut saya ke Desa Likis. Ada beberapa hal yang perlu kamu dokumentasikan disana." Kata seorang dengan jas paling rapi dan kumis paling tebal.

    "Baik Pak Pram." Balas Diksa sambil mengangguk.

    Pak Pramudya adalah kepala bagian divisi media yang dimana Diksa bekerja menjadi bawahan beliau. Pak Pram adalah manusia sadis dan jenaka dalam satu tubuh yang sama. Bekerja dibawah laki-laki kurus dengan kumis tebal itu tidak pernah mengecewakan. Kebanyakan pegawai selalu mendambakan menjadi bawahan beliau jika bekerja dalam suatu proyek. Selain itu, dalam sebuah pekerjaan tentunya rekan kerja menjadi salah satu hal yang tidak mungkin dilupakan. Walaupun Diksa baru tiga bulan bekerja di perusahaan tersebut, dirinya memiliki satu kawan yang gila seperti dirinya.

    "Dik, serius banget tuh mukanya. Ngopi yuk, besok libur juga kan?" Laki-laki itu mengintip dari sela-sela pembatas area kerja.

    "Wuih, tahu aja butuh refreshing, baru mau ngajakin. Sikatlah, penat juga kepala." Diksa menyetujui ajakan Rian.

    "Ih mantab kawanku satu ini, sesama jomblo memang harus menguatkan bro." Jawab Rian.

    Rian adalah laki-laki yang dulunya satu universitas dengan Diksa. Rian sangat menyukai fotografi seperti Diksa. Dia sudah tidak perlu diragukan lagi jika perihal pengaturan segitiga exposure, komposisi, dan konsep foto apapun. Namun ada hal-hal yang membuat Diksa dan Rian sangat dekat, salah satunya adalah kecintaan mereka terhadap wisata tersembunyi. Mereka seperti saudara kembar yang dipisahkan oleh tuhan. Kepribadian dan apa yang mereka sukai hampir sama, bahkan mereka pernah menyukai perempuan yang sama.

    Setiap akhir pekan mereka berdua selalu menghabiskan waktu di sebuah kafe yang berada di tepi kota. Suasana yang jauh dari kata ramai membuat mereka bisa berkreasi dengan apa yang mereka sukai. Senin hingga Jumat menjadi hari dimana mereka berdua menjadi seperti mayat hidup yang dipaksa bergerak untuk sebuah pekerjaan. Dan pada akhirnya, hari Jumat pun tiba dan memunculkan warna di wajah mereka.

    "Yan, silaturahmi yuk!" Ajak Diksa sambil mengangkat kamera miliknya.

    Kopi milik Rian pun dia letakkan setelah ia minum. "Ayo, cari di sebelah mana?"

    "Kita cari di sekitaran Kota Lama saja, aku pengen ngobrol sama orang." Kata Diksa.

    "Ah, pasti keluarga yang tinggal di gerobak itu." Rian menebak.

    "Nah, itu tahu."

    Mereka pun berjalan menyusuri Kota Lama dan melihat anak-anak muda yang sedang berswafoto untuk kepentingan media sosial mereka. Tempat nongkrong juga sangat penuh dengan orang-orang yang sepertinya jauh dari kata miskin. Ironisnya, ada beberapa orang yang berdiri di depan toko-toko itu dengan harapan ada orang yang memberinya satu koin receh bertuliskan lima ratus rupiah. Tidak semua manusia paham akan itu dan menganggap bahwa mengemis adalah tindakan yang tidak baik. Namun lebih tidak baik mana antara meminta ketika susah atau tidak memberi ketika mampu?

Pasar RakyatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang