"Mik, suka ya lo di sini?" Tanya Diksa.
"Banget sih, makasih udah diajak ke sini." Mika membenarkan posisi tasnya.
Bukit yang tidak terlalu tinggi itu mereka naiki dengan waktu lima belas menit. Mika dan Diksa sudah merasakan lelah karena jalanan yang curam. Namun, Ehsan dan kawan-kawannya tidak terlihat lelah sama sekali, mereka langsung duduk di tengah hutan pinus dan menemukan tempat terbaik dengan pemandangan Desa Likis yang terlihat jelas.
Diksa membuka tas carrier miliknya dan mengeluarkan alat-alat masak. Mika yang berada di ujung tebing malah asyik mengambil gambar Ehsan dan rekan-rekannya. Menurut Mika foto itu akan menjadi dokumentasi yang bagus untuk dipublikasikan. Diksa dari kejauhan hanya tersenyum karena Mika menjadi rekannya dalam pekerjaan ini.
Setelah dirasa cukup dengan dokumentasi, mereka semua duduk melingkar dan menikmati makanan sembari berbincang. Suasana menjadi lebih baik tatkala angin berhembus sejuk dan dedaunan menutup mentari yang mulai memanas. Senyum dan tawa anak-anak Desa Likis membuat Diksa ingin menanyakan sesuatu kepada mereka.
"San, kalau misalnya hutan ini jadi tempat wisata bagaiamana?" Tanya Diksa."Kan ini sudah jadi tempat wisata kak." Jawab Ehsan sambil memakan makanan ringan yang diberikan oleh Diksa.
"Bukan, maksudnya jadi dikenal banyak orang." Diksa menepuk bahu Ehsan.
"Tentu mau kak, kita senang jadi ramai desanya. Nanti kita bisa lihat bule."
"Tapi biasanya ya San, nanti tempatnya bakal rusak kalau udah ketahuan sama orang banyak." Mika menimpali perkataan Ehsan.
"Kalau rusak ya jangan kak, nanti kita main dimana lagi?" Jawab Ehsan.
"Haha, tidak San. Kakak hanya bercanda, tidak selalu seperti itu." Mika mencubit perut Ehsan.
Setelah selesai dengan perbincangan dan makanan, mereka pun kembali ke rumah dan bersiap untuk menemui kepala desa. Mas Ulin mengatakan, mereka harus datang ke rumah kepala desa seteah maghrib tiba. Di sela-sela itu, satu pesan dari Rian membuat Diksa menjadi lebih bahagia dengan peliputan ini. Rian ditugaskan Pak Pram untuk menyusul Diksa ke Desa Likis dan jika tidak ada masalah maka Rian akan sampai besok pagi.
Di depan teras rumah Diksa, mereka berdua berbincang tentang Desa Likis dan apa yang mungkin bisa mereka berikan untuk desa ini. Menurut Mika, desa ini terlampau bagus namun tidak terlalu dikenal orang. Mereka yakin jika desa ini mampu menjadi desa wisata dengan segala keindahannya dan mungkin itu akan membantu perekonomian dari Desa Likis.Di sisi lain, anak muda yang ingin melestarikan budaya desa ini akan lebih mudah menemukan wadah untuk melestarikannya. Perkataan Mas Ulin dan Ehsan menjadi satu bukti bahwa sebenarnya yang mereka inginkan adalah desa ini dikenal oleh masyarakat luar.
Mimpi yang besar muncul dari dua orang yang seharusnya datang hanya bekerja itu. Biasanya seseorang yang meliput akan berhenti pada dokumentasi dan pencarian informasi, kemudian mereka lupakan apa yang sebenarnya terjadi sehingga hanya sebatas tahu masalahnya tanpa ada solusi. Padahal akan sangat berarti ketika seorang yang meliput dapat memberikan solusi atas masalah yang mereka temui ketika melakukan peliputan.
Malam pun tiba, setelah maghrib Diksa dan Mika berjalan menuju ke rumah kepala desa. Mas Ulin tidak bisa ikut bersama mereka karena ada urusan di tempat lain. Lampu penerangan yang tidak terlalu banyak membuat jalanan menjadi sangat gelap. Polusi cahaya yang sangat minim membuat bulan dan bintang-bintang terlihat sangat indah.
"Dik, kenapa ya kita kepala desa? Bukannya tidak ada dalam target peliputan?" Tanya Mika di perjalanan.
"Gue juga ngak tahu, baru kepikiran sekarang kalau sebenarnya nggak perlu." Diksa menjawab sambil berbisik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pasar Rakyat
Teen Fiction"Diksa, Rian, Mika, Angkasa, Natasha !" Jihan berteriak memanggil mereka. Desa Likis adalah sebuah desa yang kaya akan wisata alam. Lingkungan yang masih asri membuat lima orang pemuda terkesima melihat desa itu. Diksa, Rian, Mika, Angkasa, dan Nat...