"Dulu Mas Diksa menjajikan dana 10 juta tapi yang kita dapat hanya 5 juta." Kata seorang ibu-ibu UMKM.
"Nggak papa Bu, sudah lumayan untuk membantu kita." Kata ibu-ibu yang lain.
Natasha berjalan di samping tetangga rumah Pak Badrul. Dia mendengar bahwa uang yang diberikan Pak Badrul hanya setengah dari apa yang mereka berikan ke Pak Badrul. Natasha yang takut salah paham akhirnya bertanya secara langsung kepada warga tersebut. Dan ternyata benar, mereka hanya menerima setengah dari apa yang Diksa dan Natasha berikan.
Festival diadakan sebagai acara penutup satu minggu rangkaian perayaan ulang tahun Desa Likis. Hari ini, lima orang sekawan itu sangat sibuk dengan urusannya. Natasha yang mengetahui kejanggalan itu terus berdiam dan membiarkan acara ini berjalan terlebih dahulu.
"Dik, panggung dan rangkaian acara sudah kamu berikan kepada Mas Ulin?" Tanya Mika.
"Sudah semua, pengeras suara dan panggung semuanya aman. Untuk kedai-kedai budaya dan kuliner bagaimana Nat?" Natasha melamun.
"Nat?" Diksa mengulangi pertanyaannya.
"Eh iya, semuanya sudah aman. Hanya saja ada beberapa kedai yang masih kosong." Natasha menunjuk empat kedai yang masih kosong.
"Kok bisa masih kosong?" Rian bertanya.
"Kurang tahu, nanti aku pastikan lagi." Natasha pergi melakukan pengecekkan.
"Oke semuanya bersiap untuk koordinasi ya, karang taruna desa juga sudah mau membantu kita. Jadi, minta saja bantuan ke mereka kalau ada kesulitan." Kata Diksa.
Dari kejauhan Ehsan berdamai-ramai datang dengan kawan-kawannya dan dia pun langsung menyapa kakaknya yang sedang berdiri di depan panggung hiburan.
"Kak Diksa, aku bawa teman-temanku ini kak!" Ehsan menunjuk teman-temannya.
"Wah, terima kasih ya kalian mau ikut meramaikan. Nanti jangan lupa mampir ke kedai yang di sana ya San." Lembar rangkaian acara terus Diksa lihat.
"Siap kak!" Salam hormat Ehsan tunjukkan.
"Kalau begitu kakak kembali mengurus sesuatu dulu ya. Senang-senang kalian semua." Diksa pun pergi menjauhi Ehsan.
Diksa kembali ke panggung untuk memulai acaranya. Bupati akan datang dan memberikan sambutan, itu diluar rangkaian karena pada awalnya beliau hanya ingin datang dan melihat. Tapi, Diksa tetap memberikan waktu untuk beliau berbicara sebentar.
Acara pun dimulai, bupati terlambat sekitar tiga puluh menit dan membuat acara menjadi sedikit kacau. Namun, Diksa mampu mengatur kembali waktu hingga semuanya mendapatkan bagian. Kedai kuliner dan budaya juga ramai pengunjung, Diksa memandang teman-temannya yang juga sibuk tapi bahagia.
Dari kejauhan, Rian sibuk dengan drone dan terus mengabadikan momen ini. Desa Likis mulai menampakkan keindahannya kepada banyak orang. Festival itu membuat Desa Likis menjadi pusat perhatian desa di sekitarnya.
Setelah acara selesai, Diksa sedikit terkejut karena pendapatan dari setiap kedai cukup besar dan Diksa biarkan pemilik kedai langsung menikmati hasilnya. Sedangkan di sisi lain, pengisi panggung Diksa berikan imbalan yang cukup besar sehingga membuat Mas Ulin hampir bersujud kepada Diksa. Namun hal itu tentu dia tahan, hal itu sangat tidak baik untuk dilakukan walaupun itu adalah bentuk rasa terima kasih.
"Mas Ulin, tidak perlu sampai seperti itu." Diksa mengangkat bahu Mas Ulin.
"Kami tidak pernah diapresiasi seperti ini Mas Diksa, kami sangat berterima kasih. Kami berjanji akan memberikan yang terbaik untuk sanggar budaya." Mas Ulin memegang tangan Diksa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pasar Rakyat
Teen Fiction"Diksa, Rian, Mika, Angkasa, Natasha !" Jihan berteriak memanggil mereka. Desa Likis adalah sebuah desa yang kaya akan wisata alam. Lingkungan yang masih asri membuat lima orang pemuda terkesima melihat desa itu. Diksa, Rian, Mika, Angkasa, dan Nat...