Episode 2 - Desa Likis

0 0 0
                                    

"Wah, desa lo mirip banget kayak di film. Indah banget." Sembari Mika memotret keindahan desa itu.

Desa Likis adalah desa kecil yang terletak di tengah-tengah perbukitan yang sangat indah. Jauh dari kota besar membuat kerusakan alam di desa ini tidak terjadi atau mungkin belum terjadi. Teknologi memang sudah masuk, namun tidak semaju di kota besar.

Mata pencaharian masyarakat di Desa Likis sebagian besar adalah petani. Mereka memanfaatkan perkebunan, sawah, dan hutan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Walaupun teknologi sudah masuk, masyarakat di Desa Likis masih belum peka dengan ponsel pintar dan dunia luar. Anak-anak masih bermain di lapangan dengan layangan atau bola plastik yang jika ditendang oleh dua orang akan langsung meletus. Air yang mengalir di sungai Desa Likis masih jauh dari kata kotor, bahkan ikan yang berenang di dalamnya tidak pernah merasa takut pada manusia dan bisa dilihat dengan mata telanjang.

Diksa yang menjadi masyarakat lokal tentu tidak begitu kaget dengan keadaan yang ada. Namun berbeda dengan Mika yang sehari-harinya hidup di kota besar. Masyarakat di tempat tinggal Mika sama sekali tidak pernah menyapa satu sama lain. Anak-anak di kompleknya tidak bisa melepaskan genggamannya dari sebuah gawai yang merantai kaki mereka. Sungai yang berada di belakang rumah Mika sama sekali tidak bisa dinikmati dan justru sangat menganggu dengan bau dan penampakannya.

Diksa berjalan menuju rumahnya yang terbilang sedikit di ujung desa. Setiap langkah mereka berdua ditemani senyum warga yang masih menggunakan kaki untuk berpindah tempat. Senyum dari warga tidak pernah terlewatkan oleh Mika, senyum mereka masih hangat sekali atau mungkin terpana dengan wajah Mika yang terbilang lumayan cantik.

Kemudian dari lapangan, berlarilah satu anak laki-laki gempal menghampiri mereka berdua.

"Kak Diksa!" Anak laki-laki itu memanggil.

"Ehsan!" Diksa pun memanggil namanya.

"Siapa Dik?" Mika menyenggol bahu Diksa.

Anak gempal bernama Ehsan itu memeluk Diksa dengan erat.

"Kak Diksa libur berapa hari?" Ehsan bertanya.

"Tidak libur, hanya bekerja di desa satu minggu." Diksa mengelus kepala Ehsan.

"Oh, lalu kakak cantik ini siapa? Mukanya seperti Rachel Florencia cuma agak coklat kulitnya." Ehsan menunjuk Mika.

"Anak ini bener-bener ya, belum kenal sudah—" Mika sedikit sebal dengan Ehsan.

"Sudah Mik, gue kenalin dulu, Ehsan ini Kak Mika temen kerja kakak. Dan Mik, ini Ehsan, adik gue satu-satunya." Diksa menyuruh mereka bersalaman.

"Oh pantas saja resek." Mika menatap mata Ehsan dan Ehsan pun sedikit ketakutan dengan tatapan tajam dari Mika.

Mereka pun pergi ke rumah Diksa untuk beristirahat. Orang tua Diksa sudah duduk di depan teras rumah dengan satu cangkir teh hangat. Teras rumah yang tidak begitu lebar itu menjadi pertemuan antara Diksa dan orang tuanya. Diksa memeluk ibu dan ayahnya karena rindu sudah dia pendam cukup lama. Mika dari belakang hanya bisa melihat pemandangan itu dengan menggandeng tangan Ehsan.

"Pak, Bu, ini Mika—" Perkataan Diksa dipotong oleh ayahnya.

"Ah, akhirnya, bapak yakin kamu masih suka perempuan."

"Bukan itu maksudnya pak, Mika cuma rekan kerja Diksa." Diksa menjelaskan.

"Sudah pak, sudah. Biarkan mereka istirahat dulu, mereka ke sini kerja loh pak." Ibu memotong pembicaraan.

"Ya sudah kalau begitu, Mika nanti tidur di kamar Diksa saja ya." Ayah Diksa tersenyum kepada Mika.

"Tapi pak, masa Diksa tidur sama—" Omongan Diksa dipotong lagi.

Pasar RakyatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang