11 | Aku Ingin Menyerah

27 3 0
                                    

There's a Feeling That Goes to You
.

.
laudaisie

Bel pulang sekolah telah berdentang lima menit yang lalu. Keadaan kelas hari ini belum sepenuhnya sepi. Aku menatap lurus papan tulis putih yang telah bersih dari tinta hitam. Kejadian pagi tadi masih membekas sampai sekarang.

Sepulangnya dari ruang unit kesehatan siswa, perasaan canggung seketika menderaku begitu memasuki ruangan kelas. Bahkan jika dipikir kembali, seharian ini sepertinya aku tidak berinteraksi sama sekali dengan teman sekelasku terkecuali Hyewon, Yuri, dan Yujin.

Situasi yang membuatku tak nyaman. Aku seolah orang asing yang baru saja mendaftarkan diri ke sekolah ini. Tak ada yang mengajakku berbicara, bahkan sekadar mendekat pun tidak ada sama sekali.

Tidak masalah. Lebih baik seperti ini daripada menjadi sorotan tajam seisi kelas.

Untuk waktu sejenak, aku tenggelam dalam lautan pikiranku sendiri. Mungkin selepas pulang dari sekolah, aku akan langsung pergi menuju kafe. Aku harus menebus kesalahan kemarin karena absen tanpa keterangan.

"Minju."

Aku mengalihkan pandanganku, menatap seseorang yang baru saja memanggilku. Ah, Jaemin. Pemuda itu berjalan masuk ke dalam ruangan kelas setelah memastikan sekitarnya.

"Badanmu masih sakit?" tanyanya kemudian.

Aku menggeleng, "Setelah ini aku akan langsung kerja."

Jaemin menghentikan langkahnya tepat di sampingku. Pemuda itu melirik arlojinya sekilas. "Masih jam 5 sore, sangat disayangkan jika melewatkan momen matahari terbenam."

"Kau sendirian saja," tukasku kemudian.

"Ayolah, Ju. selama satu jam kau akan diam menunggu di kafe? Apakah tidak bosan?" rengek pemuda itu berusaha membujukku.

Aku tersenyum kecil. "Baiklah."

¤¤¤

Seperti biasa. Suasana pantai di sore hari merupakan hal yang diidamkan bagi sebagian manusia. Suasana yang damai, tenang, dan tentram, sungguh merupakan momen yang seringkali dicari.

Aku segera mendudukkan badanku di atas hamparan pasir kuning. Jaemin yang telah duduk di sebelahku tampak fokus dengan kameranya. Sepertinya pemuda itu sedang bersiap mengambil objek secara acak.

"Minju," panggilnya seusai mengatur kamera.

Aku tidak akan tertipu kembali. Dapat ditebak pemuda di sebelahku sedang berancang-ancang mengambil potret diriku. Aku sudah mengetahui trick-nya itu.

Jaemin terkekeh. Pemuda itu segera menurunkan kameranya setelah mengambil beberapa gambar. Dia memandang ombak di depannya dengan lamat. "Maaf, pagi tadi aku terlambat melaporkan mereka ke guru bimbingan konseling," ucapnya kemudian setelah mengambil napas panjang.

"Dan maaf sepenuhnya untuk hari kemarin. Aku baru mengetahui kau diganggu oleh mereka setelah melihat video kau dengan Hyunjin," jelas pemuda itu.

Kepalanya menoleh ke arahku. "Kemarin aku tidak pergi ke sekolah. Setelah mengetahui kejadian sebenarnya dari Renjun, aku langsung bergegas pergi ke kafe tempat kerjamu. Namun, salah satu pegawai kafe memberitahuku bahwa kau susah dihubungi. Aku ingin menyusul ke rumahmu, tapi seluruh pegawai kafe Delight tidak ada yang tahu mengenai alamat rumahmu."

Aku menatap lurus gulungan ombak yang berlarian menuju pinggiran pantai. Penjelasan Jaemin baru saja memasuki otak kecilku. Sebenarnya ia tak perlu meminta maaf dan menjelaskan secara lengkap mengenai alasannya tidak bisa menolongku. Karena aku tidak memintanya.

"Kenapa kau harus minta maaf?" Aku menoleh, menatap Jaemin yang tengah memandangku balik. "Tidak masalah, aku malah merasa bersukur karena terdapat seseorang yang masih peduli padaku. Aku sangat berterima kasih karena kau menolongku."

Jaemin tersenyum tipis. "Apa kau ingin menangis kembali?"

Aku mendecih mendengar pertanyaannya. "Bukankah aku sudah menangis pada hari Minggu kemarin?"

"Sejak kapan menangis ada jadwalnya?" Jaemin mengernyit bingung.

Aku mengedikkan bahu. "Tidak tahu. Tapi akhir-akhir ini rasanya aku ingin menyerah saja."

"Kenapa ingin menyerah?"

"Ya, ingin saja." Aku menatap Jaemin heran.

Pemuda itu terdiam. Sebagai gantinya, dia menatap dalam manik mataku. "Kau ingin cerita?"

Aku menggeleng. Malas sekali jika aku harus mengorek dan menceritakan ulang memori lamaku yang buruk. Aku malas untuk menangisinya kembali.

"Kau ingin sebuah pelukan?" Jaemin mengerling jahil. Pemuda itu membentangkan kedua tangannya lebar.

Apa maksudnya? Aku segera memukul lengan pemuda itu agak keras. "Jangan aneh-aneh!"

Jaemin tertawa kecil. Dia mengusap lengannya yang terkena pukulan. Pemuda itu menatapku kembali. Sebelah tangannya terangkat dan berhenti di atas kepalaku.

"Jangan menyerah!"

¤¤¤

to be continue

There's a Feeling That Goes to You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang