Like We Used to Be

143 21 17
                                    

"Sorry karena gue enggak bisa nego ke mereka, Lingga."

"Nego? Nego apa?"

Indra membantu Lingga mengenakan seat belt-nya sebelum berkonsenterasi menyetir. Seharusnya Lingga menjenguk makam orang tuanya siang ini. Namun karena kegagalan negosiasi— Indra akan berlapang dada jika disalahkan karena ini merupakan salah satu pekerjaan utamanya. Memang kelemahan terbesarnya adalah harus menghadapi sumber uang Luxus, apalagi Klien yang akan mereka temui siang ini benar-benar sebegitu loyalnya bagi mereka. Tak terhitung jumlah gaun yang telah dihasilkan oleh Lingga, termasuk perayaan akbar pernikahan salah satu anak dari Klien tersebut beberapa tahun lalu.

"Klien ini?" Lingga memastikan ucapan Indra, karena isi kepalanya lumayan tidak fokus sejak semalam. Sedangkan Indra hanya meng-iya-kan pertanyaan Lingga tanpa melepas perhatiannya dari jalan raya. 

Lingga tidak menganggap hal tersebut merupakan sesuatu yang besar karena ia sungguh maklum. Maklum adalah satu-satunya cara yang harus Lingga telan bulat-bulat apabila harus menghadapi Klien berduit tanpa seri. Bagaimana pun, tentu saja ia butuh. Apalagi Luxus tengah kembali mencoba menapaki jalan yang kemarin ia tinggalkan dengan sengaja. Jadi ini merupakan upayanya agar keberlangsungan Luxus tetap stabil. 

Ia mulai terbiasa menanggapi perilaku orang kaya yang terkadang tidak menginginkan pilihan selain keinginan mereka sendiri, padahal hasilnya akan sama saja. Hal ini dipelajarinya secara tak sengaja semenjak hidup dengan Adhiwangsa. Ia dituntut berpikir cepat. Mengambil keputusan juga harus cepat dan tepat. Memaklumi orang-orang disekitarnya yang berpikiran demikian.

Tuan Jayeng yang terkenal ramah itu saja bahkan terkadang memiliki amarah tak sepatutnya apabila sudah menyangkut laba perusahaan. Dan tentu saja para Karyawan Adhiwangsa harus dapat maklum begitu saja, karena tak lain dan tak bukan tentu saja hasilnya akan kembali kepada mereka sendiri apabila yang diinginkan oleh Boss Besar mereka benar-benar terwujud.

Mudahnya, sebagian besar yang diperolehnya saat ini adalah hasil dari memaklumi orang lain.

Sisi positifnya juga banyak, salah satunya adalah di mana Lingga tidak menginginkan apapun yang berhubungan dengan pekerjaannya kemudian berlarut-larut. Lagi-lagi karena ia memaklumi kebutuhan para Klien-nya yang terkadang mendesak seperti saat ini. Atau lebih tepat kalau dibilang, ia memilih memaklumi hal tersebut. Tentu saja ia bisa jika enggan memilih maklum. Namun itu artinya ia akan kehilangan orang-orang yang sudah begitu lama memercayainya.

Lalu Indra membuka suaranya lagi. "Kata Hugo, semalam Mas Aji datengin lo di Luxus lagi?"

Lingga memangku dagunya dengan sebelah tangan yang ia tumpukan pada perbatasan jendela mobil. "Iya..."

"Terus??"


*

*

*


Like a Tattoo - Sade


Tak terhitung yang Aji ingin sampaikan kepada Lingga. Di antaranya sebuah basa-basi, pun sudah disusunnya dengan sempurna. Kalimat pembukanya bahkan sangat baik. 

Aji menanyai bagaimana kabar Lingga. Apakah pekerjaannya lancar?
Atau yang paling mudah, apakah Lingga sudah menyicipi masakan Dea yang memang sangat lezat bahkan untuk lidah awamnya yang sempat kehilangan selera karena kepergian Lingga.

Glimpse of Heaven : Finale - Koo Junhoe & Kim Jiwon [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang