Sceptical

163 20 10
                                    

"Aku turun, ya? Mas di sini aja."

Text-Glam menjadi tujuan mereka siang ini. Dengan modal ngotot setelah meyakinkan Lingga bahwa ia tidak begitu bermasalah lagi untuk berada di sebuah tempat yang dipenuhi banyak orang. Namun setelah meyakinkan Lingga bahwa ia akan baik-baik saja, kini malah giliran nyalinya yang menciut.

"Oke." Aji menganggukkan kepalanya berulang kali agar Lingga tidak perlu membaca gesturnya yang kebingungan. Lingga mengatakan bahwa waktu yang dihabiskannya tidak akan lama. Tugas Aji sekarang hanya mencari lokasi parkir lebih sepi, mengalihkan perhatiannya dengan membuka-buka sosial media, membaca buku, atau apapun, hingga Lingga menghubunginya kembali setelah pertemuan selesai. Sederhana. Namun di dalam kepalanya ini sungguh-sungguh mengerikan. Sepertinya kesimpulan Dokter Prawira tentang kemajuan kesehatannya kemarin tak ada satu pun yang tepat.

Aji lebih berusaha menahan keinginannya untuk mengubur diri di rumah. Berhubung Lingga tengah menyiapkan keperluan Luxus dan Text-Glam untuk Kolaborasi, maka menghabiskan waktu berdua seperti ini menjadi salah satu usahanya. Terdengar jauh lebih baik tinimbang mengobrol, karena ujung-ujungnya malah mengingat masa lalu. Pemisahnya masih ada. Bukan dinding, hanya sekat rendah yang lalu membuat keduanya kehabisan cara untuk saling mendekatkan diri.

Bingung, canggung, dicampur salah tingkah.

Yang satu terkadang kelewat antusias dan memaksa, dan yang lain malah kebingungan karena merasa dipaksa.

"Aku cuma sebentar. Tapi kalau Mas mau mampir ke Rumah Besar sebentar, malah lebih bagus, biar aku juga enggak perlu buru-buru... Ya?" Lingga kembali meyakinkan Aji, walau sebenarnya ia juga merasa sedikit sebal. Menyebalkan baginya untuk menghadapi sisi Aji yang pemaksa dan terlalu ngotot. Padahal ia mampu berangkat sendiri. Ia mampu mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Tidak perlu diantar dan ditemani. Namun mengatakan hal persis sama seperti itu malah terkesan mematahkan usaha yang Aji tunjukkan di antara mereka.

Aji menganggukkan kepalanya sekali lagi, kali ini diiringi dengan sebuah senyuman. Ia harus lebih percaya diri. Bukan waktunya terlihat lemah di hadapan Lingga, juga ia tidak ingin dikasihani.

Setelahnya, Lingga memutuskan turun dari kendaraan mereka. Berjalan ke arah bangunan Text-Glam, sebelum akhirnya kembali menolehkan kepalanya ke arah Aji, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa laki-laki itu akan baik-baik saja selama menunggunya. 

Lingga menghembuskan nafas sangat panjang setelah lagi-lagi melihat betapa lebar senyum laki-laki itu.

Sepertinya Lingga benar-benar harus belajar untuk lebih percaya kepada Aji, bukannya malah khawatir setengah mati.


***


"Lho, Mas? Ke sini?" Lintang membentangkan sebelah lengannya demi menyambut kedatangan Aji di rumah mereka setelah berbulan-bulan tidak pernah menyempatkan pulang.

Rumah Besar terletak tidak sangat jauh dari Text-Glam, salah satu alasan maka Lingga menjadikan toko pusat kain terbesar di Jakarta tersebut menjadi langganannya sejak masih bersekolah.

"Lo enggak ke kantor?" Aji malah bertanya hal lain.

"Gue baru balik tadi pagi dari Denpasar."

"Denpasar lagi?"

Lintang menganggukkan kepalanya, "ada beberapa kendala menyangkut pajak, tetapi sudah tertangani dengan baik." Jawabnya lalu menuntun Aji untuk masuk ke dalam dapur bersih. Sepertinya memang sudah menjadi kebiasaan Keluarga mereka untuk memulai sebuah pertemuan hangat di dalam ruangan tersebut. Padahal sudah bukan waktunya lagi untuk makan siang, namun refleksnya sudah begitu.

Glimpse of Heaven : Finale - Koo Junhoe & Kim Jiwon [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang