A Little Step

138 23 21
                                    

Rumah Besar, 1996


Matahari siang itu berada tepat di atas kepalanya, namun ia juga belum ingin berhenti memantulkan sebuah bola berwarna orange, yang lebih besar dari ukuran kepalanya yang berusia 7 tahun.

Ia mengenakan seragam basketnya juga hari itu, pemberian sang Ayah, yang lalu membuat tubuhnya belang. Salah satu penyebab Bundanya selalu protes tak suka.

"Mas Aji?"

Kepalanya menoleh, ke arah salah seorang Karyawan Ayahnya. Karyawan terpercaya, untuk lebih tepatnya. Ia tidak menjawab apa-apa. Komunikasinya memang kurang baik semenjak tidak banyak orang yang dapat diajaknya berkomunikasi.

Tidak Ayah, tidak juga Bunda.

Tiba-tiba ia teringat, kalau Karyawannya saja sudah kembali ke rumah setelah melakukan perjalanan entah apa bersama Ayahnya, berarti...

"Ayah mau bertemu dengan Mas Aji, katanya." Beliau menunjuk ke arah salah satu jendela besar rumah, mengarah pada sosok Ayahnya yang sedang menunggu dan memperhatikan interaksi mereka.

Ayah yang hampir jarang ditemuinya, namun menjadi sosok yang paling ia kasihi, semenjak hanya Ayahnya lah yang mau memberikan segalanya yang ia inginkan.

"Yuk, ke dalam rumah sebentar, yuk?" Suara bariton lembut itu kembali terdengar, bersamaan dengan suara Pesawat yang terbang di atas mereka.

Ia menengadahkan kepalanya, mendadak bola basket yang berada di atas dua belah telapak tangannya itu terlupa begitu saja.

Ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

Menantang cahaya matahari yang luar biasa menyilaukan.

Menatap sebuah burung besi yang tak pernah membuatnya gagal terpukau.

Untuk beberapa menit ia terus begitu. Seolah tidak ingin melewatkan sebuah kesempatan yang jarang sekali ia temui.

Setelah ekornya sudah tak lagi terlihat, ia kembali mencari-cari bola basket yang terlepas tadi. Berlari kecil dan mengambilnya, lalu akhirnya menuruti permintaan Karyawan Ayahnya.

Om Dirga. 

Namanya Om Dirga. Satu-satunya Karyawan yang ia ingat namanya di luar kepala. 


***


Ia dikenal sebagai anak periang ketika berusia Balita. Namun setelahnya, tidak banyak kalimat yang keluar dari mulutnya.

Jarang sekali meminta.

Jarang sekali protes.

Jarang sekali mengambek dan meracau, tidak seperti dua orang adiknya yang lain.

Mungkin maka dari itu pula lah, sebenarnya, sebagian besar Penghuni rumah lebih menyenanginya dan berlomba-lomba membuatnya nyaman walau tidak pernah ada satu kali pun kesalahan mereka yang dianggapnya besar.

Seperti jika ditanya, ingin sarapan apa besok pagi? Lalu ia akan menjawab sesuai dengan keinginannya, namun entah karena alasan apa maka tak terwujud, ia akan selalu berkata tidak apa-apa.

Juga menjadi alasan maka Tuan Dirga lebih sering mendekatkan diri kepadanya dibandingkan majikannya yang lain.


***


Ruang tamu yang besar terdengar berisik. Suasana yang biasa jika Ayahnya baru pulang dari sebuah perjalanan, karena biasanya Beliau akan membawakan banyak oleh-oleh walau tak ada satu pun yang familiar dengan tempatnya berkunjung.

Glimpse of Heaven : Finale - Koo Junhoe & Kim Jiwon [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang