Hot & Bothered

222 19 12
                                    

Aji pernah mendengar sebuah kalimat seperti, "apa yang lebih tak berguna jika dibandingkan dengan bertanya tentang cita-cita kepada anak kecil? Di mana akan sangat cepat berubah bahkan hanya dalam hitungan satu malam. Ingin menjadi Presiden, lalu Dokter, lalu Astronot, Artis, dan lain-lain. Padahal ketika sudah dewasa yang harus mereka lakukan hanya sebatas bertahan hidup dengan gengsi dan harga diri. Jika tidak, hasilnya akan tidak lebih dari sebuah khayalan."

Ia meregangkan otot pinggulnya sembari mendengar Hanzel bercerita ini dan itu.

Mereka kembali bertemu hari ini.

Hanzel masih begitu antusias dengan mainan Pesawat model terbaru jika dibandingkan dengan yang terakhir kali diingatnya.
Terlihat lebih bersemangat walau setelah ini akan kembali berhadapan dengan Dokter giginya sebentar lagi.

Bocah kecil yang memiliki warna mata menyerupai namanya itu tampak lebih bersungguh-sungguh akan cita-citanya menjadi seorang Pilot, terbukti yang keluar dari ceritanya tak jauh-jauh dari sana.

Aji sempat tersentil ketika mendengar kalimat di atas tadi walau setelah disadarinya ia tidak pernah memiliki begitu banyak cita-cita.

Yang ia ketahui dengan persis hanya lah kelak dewasa nanti, ia ingin menjadi seorang Pilot yang mumpuni, walau dalam waktu yang bersamaan ia juga paham bahwa segalanya adalah hal yang mustahil.
Bahkan dengan kemampuannya di lapangan tidak begitu saja menggeser cita-citanya tersebut ke mana pun.

Juga tersentil karena pada kenyataannya ia malah memilih melepaskan salah satu cita-citanya itu, yang lalu mau tak mau membuatnya kembali berpikir, apakah ia masih memiliki kesempatan untuk kembali menjadi seorang Pilot?

"Perkembangan Mas Aji sangat baik untuk satu bulan terakhir, dan sepertinya saya harus berterima kasih kepada Lintang untuk gagasannya mengenai memperkerjakan Mas sementara waktu di Adhiwangsa Sepuluh." Dokter Prawira menyerahkan beberapa lembar rekam medis yang mencantumkan beberapa jenis obat berikut dosisnya kepada Aji, yang harus ditebusnya setelah ini.
"Hubungan dengan Lingga, bagaimana?" Pertanyaan ini tidak terkesan basa-basi belaka karena menurutnya memang memiliki pengaruh sangat penting bagi kesehatan Aji.

Aji tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. "Puji Tuhan, baik, Dok."

Beliau ikut-ikutan tersenyum, malah hampir saja tertawa karena sejenak menemukan sebuah kelucuan tersendiri setelah mengingat bahwa ekspresi Pasien-nya yang satu ini tidak begitu banyak sejak pertama kali mereka terikat hubungan sebagai Dokter-Pasien.

Lumrah rasanya maka Beliau kelewat bahagia seperti saat ini.

Tetapi setelahnya, Aji menanyakan hal lain. Satu hal yang membuatnya sedikit tidak nyaman, namun harus disimpannya dahulu dengan baik hingga ia merasa telah menemukan waktu yang tepat untuk bertanya.

Dokter Prawira lalu berpikir memang seharusnya ia tak patut keburu lega, karena tentu lah perihal kejiwaan tidak sesederhana yang dipikirkan oleh orang awam.
"Mas Aji atau Lingga yang merasa yang tidak nyaman?"

"Saya, Dok." Ingatannya kembali mundur pada malam itu di mana akhirnya ia memutuskan menginap di Apartemen Lingga. 

Bagaimana kuat kedua lengannya itu mendekap tubuh Lingga. Saking kuatnya, ia seolah mampu meremukkan tubuh Lingga detik itu juga.

Lingga tidak pernah mengeluh, atau mungkin belum semenjak intensitas keintiman mereka juga tidak terjadi di dalam kurun waktu yang rutin atau berdekatan, pun beberapa kesempatan lain juga sama saja.

Liam Aji Adhiwangsa adalah laki-laki paling lembut, jika Aji diperbolehkan memuji dirinya sendiri. 
Selama mereka berhubungan ketika itu, malah Lingga yang menuntutnya macam-macam.

Glimpse of Heaven : Finale - Koo Junhoe & Kim Jiwon [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang