#1 Prolog

978 84 13
                                    

Merayu, sebuah perkampungan nelayan di sisi barat pesisir sungai Barito, tahun 1962.

Deburan ombak bergulung-gulung, lalu memecah pasrah kala menimpa sempadan sungai. Seekor Bangkong duduk terpekur di atas bebatuan. Terpesona memandang pendar keemasan rembulan di antara kilau ribuan gemintang. Mulutnya yang lebar menguak puitis penuh perasaan. Wajah elok rupawan sang langit malam, membuat si Bangkong lupa akan ribuan mil jarak yang membentang.

Malam yang syahdu penuh kedamaian. Semilir angin sejuk mencandai daun-daun keladi. Batang jenjang itu tampak menari kian kemari mengikuti irama derik jangkrik.

"Krassak... krassak...."

Semak belukar tiba-tiba disibak tergesa.

Kemunculan seorang lelaki tua telah membuyarkan kedamaian malam milik penghuni semak. Jerit pilu kesakitan yang menggema dari arah perkampungan, semakin membuat Pak Tua gemetar, gugup. Tungkai kurus penuh lumpur basah dipaksa terus berpacu bersama deru napas yang memburu.

Jejak-jejak telapak kaki pak tua membekas dalam pada tanah lembek sepanjang tepian sungai. Dia harus segera kembali ke perahu kecil yang tertambat pada sebuah pohon, lalu pergi sejauh mungkin dari tempat itu. Keringat dingin telah membasahi tubuh tipis pak tua. Sadar jika sesuatu yang mengancam jiwa sedang mengejar di belakang sana.

Awalnya seperti biasa, sejak pagi lelaki tua yang hidup sebatang kara itu berangkat mencari udang ke sungai dengan perahu kecilnya. Malam ini seember penuh udang segar hasil tangkapan ditenteng pulang. Tersenyum tipis pak tua. Berjalan santai dia memasuki jalan setapak kampung yang sepi. Sambil menyesap nikmat sebatang rokok linting kesukaannya. Senang hasil tangkapan hari ini lebih banyak dari hari kemarin.

Bau anyir yang khas menari-nari terbawa angin. Maklumlah kampung nelayan. Kadang ada saja warga yang membuang bangkai ikan sembarangan, batinnya. Mata pak tua terlalu fokus pada jalan di hadapan. Tanpa dia sadari ada hal ganjil pada beberapa rumah kumuh yang dia lewati.

Makin ke sini bau anyir semakin tajam. Langkahnya lalu berhenti di depan sebuah rumah kayu milik Pak Jani-- seorang pengepul ikan. Dia berniat langsung menjual udangnya ke situ.

Sisa puntung rokok lalu dilemparkan ke tanah. Manik hitamnya tanpa sengaja menemukan sesuatu. Berkerut dalam dahi keriput Pak Tua, menatap cairan merah yang menggenang beberapa inci di ujung kakinya. Cahaya terang bulan cukup membantu penglihatan yang mulai lamur.

"Siapa pula sembelih ayam malam-malam begini?" gumamnya, terheran-heran.

Meneleng kepalanya mengamati genangan cairan pekat berwarna merah, yang mengalir menganak sungai di permukaan tanah, berasal dari pelataran rumah itu.

Krompyang!

Brak! Bruk!

Terdengar bunyi berisik benda jatuh dari dalam rumah, ditambah bunyi-bunyian lain. Dinding dan daun pintu yang setengah terbuka, sesaat terlihat bergetar. Sepertinya ada orang yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu di balik pintu triplek yang telah geripis digerogoti tikus.

"Pak Jani! Berapa ekor kau sembelih ayam?! Buat selamatan anakmu kah?!" tebak pak tua dengan suara nyaring, sembari memanjangkan leher, belum beralih dari tempatnya berdiri.

Isteri pak Jani baru melahirkan seminggu yang lalu. Dia yakin sekali jika pengepul ikan itu, sedang membersihkan ayam-ayam yang baru dipotong untuk pesta menyambut kelahiran sang anak. Tidak mungkin darah ikan bisa sebegitu banyak. Meskipun di sisi lain hatinya juga menolak kalau itu darah ayam. Tapi, kalau bukan darah ayam lalu darah apa? Di kampung mereka tidak ada satupun warga yang memelihara kambing, apalagi sapi.

Tak mendapat sahutan dari pemilik rumah, Pak Tua melangkah mendekat penuh hati-hati. Tak ingin kakinya sampai menginjak darah. Dia maklum pada pendengaran Pak Jani yang sedikit terganggu gara-gara diserempet petir setahun lalu. Semakin dekat, semakin jelas kondisi pelataran kayu rumah yang becek. Cairan merah menetes-netes ke bawah, terus meluncur hingga ke jalan.

"Aku bawa udang lumayan banyak, Pak Jani. Bayar separuh dulu, bisa kah?! Separuhnya boleh lusa. Aku butuh duit buat beli beras malam ini," ujarnya lagi, penuh harap. Sudah biasa Pak Jani tidak langsung membayar lunas ikan yang dibeli dari nelayan. Modal yang dimilikinya tidak besar. Semua atas dasar saling percaya.

Bugk!

Tersentak kaget Pak Tua, ketika tiba-tiba sebuah benda kehitaman terlempar keluar dari sela pintu, mendarat tepat di ujung kakinya.

"Apa ini?" desis pak tua, mengernyit. Dia lalu coba membalik benda bulat bersurai hitam itu dengan sebelah kakinya yang telanjang.

Tampaklah wajah pucat yang melotot, dengan bola mata hampir keluar. Benda di bawah kaki pak tua ternyata kepala milik pengepul ikan yang terpisah dari tubuhnya. Pak Jani telah dibunuh layaknya seekor hewan ternak.

"Kyyaaa!!! Ngayaaau!!!" teriakan pak tua seketika pecah. Ember penuh udang galah dilemparkan asal, hingga isinya berserakan ke tanah.

Pintu terbuka lebar. Seorang lelaki besar bertampang bengis keluar. Sorot matanya liar kemerahan layaknya binatang buas siap menerkam. Tubuh yang bertelanjang dada terlihat belepotan darah segar. Satu tangan menggenggam sebilah Mandau. Satu tangan lain memegangi surai panjang kepala isteri Jani yang sedang berputar dan terayun, dengan bagian leher masih mengucurkan darah. Ekspresi wajah perempuan bermuka bulat itu meringis kaku, menggambarkan rasa sakit luar biasa.

"Kyyaaa!!!" Pak tua semakin histeris, menyaksikan adegan mengerikan di hadapannya.

"Haaargh!!!" Lelaki bengis mengaum bak seekor singa, sebelum memburu pak tua yang sudah lari terpontal-pontal.

Pak tua berlari sekuat tenaga. Dia kembali melewati beberapa rumah kumuh yang ada di sisi jalan menuju sungai. Barulah dirinya sadar kalau semua pelataran rumah telah banjir oleh darah. Beberapa kepala orang yang dikenalnya tampak bergelimpangan di depan pintu dengan posisi tak keruan.

Suara jeritan panjang terdengar di beberapa sudut perkampungan nelayan itu. Warga sedang dibantai sekelompok orang dari luar. Hampir habis napas Pak Tua ketika dia berhasil mencapai bibir sungai. Tampak perahu kecilnya yang tertambat sedang terapung-apung dipermainkan riak ombak. Sementara lelaki bengis yang berjarak puluhan meter di belakang masih belum menyerah mengejarnya.

Gemetar tangan keriput Pak Tua melepaskan ikatan tali penambat. Dengan separuh tubuh terendam air didorong tergesa perahu kayu itu agak ke tengah sungai. Namun, sial bagi Pak Tua, sebelah kaki menginjak lumpur yang dalam. Tubuhnya sontak terjerembab jatuh ke dalam air.

Dia kemudian berusaha keras bangkit lagi. Tangan berpegang pada sisi perahu. Tapi, perjuangan tampaknya harus berakhir. Jarak lelaki bengis sudah sangat dekat. Sebuah Mandau melayang cepat ke arahnya.

Crassh!

Semua mendadak gelap.

Note :

Kisah ini fiktif bukan kisah nyata. Hanya hasil imajinasi liar penulis yang insomnia. Jika ada kemiripan dengan kejadian di dunia nyata, maka itu cuma kebetulan.






KABUT MERAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang