#2 Paling Jauh

543 69 6
                                        

🌺 Bab.2 🌺

Sekian windu telah berlalu.

Adam Syauki sedang terlibat pembicaraan serius dengan salah seorang staf. Membahas tentang penempatan dirinya sebagai guru pindahan.

Brak!

Kedua tangan Adam tanpa sadar menggebrak meja.

"Saya minta yang paling jauh!" lantang suaranya, penuh keyakinan. Mata menelaah nyalang sebuah peta wilayah kerja yang terpampang cukup besar, memenuhi sebagian dinding di belakang punggung Buk Astri.

"Astaghfirullah!" Wanita paruh baya di hadapannya terkesiap. Reaksi Adam yang terlalu bersemangat membuatnya sontak menarik leher. Sebuah pulpen dalam genggaman sampai melompat ke lantai.

Beberapa jeda Buk Astri hanya membisu, sembari menatap lekat pada manik hitam orang di hadapan. Mencari kesungguh-sungguhan di sana.

"Kenapa harus yang paling jauh? Pak Adam guru pindahan, bukan guru yang baru lulus CPNS. Saya bisa kok, merekomendasikan bapak ke sekolah unggulan," tukasnya kemudian.

Beberapa alternatif tempat tugas telah ditawarkan Buk Astri kepada Adam, dengan berbagai kriteria. Dia juga memberikan gambaran mengenai situasi tempat juga karakter penduduk yang akan dihadapi nantinya.

Jarang-jarang ada guru yang minta tempat tugas paling jauh seperti satu ini. Di antaranya malah bergerilya, menyelipkan amplop ke bawah meja. Demi mereka tidak terdampar ke pelosok antah berantah, yang sulit dijangkau, tanpa listrik, tanpa air bersih. Syukur-syukur ditempatkan di daerah perkotaan.

Sebagai staf kepegawaian, Buk Astri memiliki lahan yang cukup basah. Dia punya kuasa memberikan rekomendasi penempatan pegawai baru maupun pindahan dari luar sebelum diajukan ke atasan. Semua gampang diatur, yang penting saling pengertian. Kalau model pasrah macam Adam begini, alamat tak bakal ada saweran.

Sreek....

Bangku di bawah pantat Adam bergeser, mundur. Tubuh jangkung memakai kemeja lengan panjang putih bersih itu membungkuk, lalu tenggelam ke bawah meja.

"Pak Adam mau ngapain?" Kening Buk Astri berkerut.

"Sebentar, Buk!" sahut Adam dari bawah.

Bugk! Kepala Adam membentur bagian bawah meja, sebelum wajah bersih tanpa jerawat itu muncul lagi ke permukaan.

"Ngambilin ini," ucapnya, menyodorkan sebuah pulpen tinta isi ulang berwarna perak. Adam merasa bersalah sudah jadi penyebab benda itu terjun bebas ke lantai tadi.

"Hais!" Buk Astri mendelik kaget.

Spontan dia mengatup kedua paha yang tadi mengangkang. Hari ini rok yang dipakai sedikit kependekan. Jangan-jangan lelaki muda ini hanya mengambil kesempatan buat mengintip. Tapi, sepertinya tidak, wajah itu terlihat tanpa dosa.

"Saya minta yang paling jauh, Buk," ulang Adam, menurunkan volume suaranya beberapa oktaf. Khawatir Buk Astri terlonjak kaget lagi.

"Apa Pak Adam pernah tinggal di Kalimantan sebelumnya?" tanya Buk Astri, sambil bangkit dari bangku, meraih sebuah map tebal dari dalam kabinet.

"Umm...." Adam tersenyum canggung, lalu kepala dengan gaya rambut pompadour itu menggeleng. "Belum pernah sih, Buk."

Ini kali pertama dia menjejakkan kaki di tanah Kalimantan. Sanak saudara satu pun tak menetap di sini. Tapi, tidak ada rasa gentar, walaupun banyak bertebaran rumor menakutkan. Salah satunya desas-desus tentang orang Kalimantan bisa makan orang. Adam tidak peduli itu semua.

"Tinggal di pelosok terpencil bukan hal mudah. Apalagi belum mengenal seluk beluknya. Pikirlah baik-baik! Setelah SK keluar nanti, Pak Adam tidak bisa mengajukan pindah lagi dalam waktu dekat," urai perempuan bertubuh besar itu panjang lebar, seraya kembali duduk. Jari-jarinya yang gemuk membuka lebar map biru di atas meja, berisi informasi wilayah yang masih kekurangan tenaga pengajar.

KABUT MERAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang